Senin, 07 Mei 2012

Kaidah-kaidah Memahami Al-Qur`an

Adapun perkataan para sahabat Nabi, ulama Ahlussunnah berbeda pendapat mengenainya. Sebagian dari mereka seperti Ibnu Katsir menyampaikan secara ringkas -tanpa terperinci- keharusan merujuk pada perkataan para sahabat (tentunya) setelah al-Qur`an dan sunnah Nabi. Ia mengatakan: “Bila kita tidak menemukan pembicaraan dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi saw mengenai tafsir ayat, kita merujuk pada ucapan para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui al-Qur`an, dengan alas an bahwa mereka menyaksikan qarinah-qarinah ayat dan memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar dan pengamalan yang baik.”
Sebagian yang lain dengan terperinci mengatakan: “Jika perkataan para sahabat Nabi terkait sebab turunnya al-Qur`an atau masalah yang ijtihad mereka tidak mempunyai intervensi di dalamnya, tidak diperkenankan meninggalkan perkataan mereka dan merujuk pada yang lain. Sebab apa yang mereka katakan itu adalah dari mendengar (langsung) dari Nabi saw.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa jika pandangan para sahabat lahir dari ijtihad mereka, tidak harus menerimanya. Adz-Dzahabi dalam kitab “at-Tafsir wa al-Mufassirun” menyinggung dua pandangan di atas, sebagai berikut: “Sebagian berpendapat tidak harus menerima pandangan para sahabat. Karena menurut pendapat ini, mereka dalam ijtihad tak beda dengan ijitihad yang lain, yang bisa salah. Sebagian yang lain mengatakan: “Adalah harus menerima pandangan mereka. Sebab, pertama ada kemungkinan bahwa apa yang mereka katakan adalah dengan mendengar dari Rasulullah saw. Kedua, andaipun itu ijtihad dan pandangan pribadi mereka, mereka adalah pemilik bahasa al-Qur`an; memiliki keistimewaan sebagai sahabat Rasulullah saw; berprilaku akhlak beliau. Di masa turunnya ayat-ayat al-Qur`an, mereka menyaksikan qarinah-qarinahnya. Maka ijtihad mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, mengakui pandangan mereka adalah wajib.”(14)
Menurut ulama Syiah, perkataan para sahabat dan tabi’in tidak menjadi ukuran. Ucapan mereka diterima apabila menyingkap ucapan para ma’shumin (Nabi saw dan Ahlulbait as). Jika perkataan mereka tidak berujung pada seorang ma’shum, atau tidak mendekati keyakinan seperti “khabar wahid”, maka tidak memiliki peran yang menentukan dalam penafsiran. Mereka hanya memiliki nilai telaah historis. Poin lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa Nabi saw dan para imam suci as sebagai pengajar dan pemberi penjelasan, bukan dengan demikian pemahaman kita tentang al-Qur`an tidaklah berarti. Tetapi, penjelasan-penjelasan mereka terkadang memuat aspek penafsiran dan penjelasan makna lahir suatu ayat. Seperti riwayat-riwayat di atas, yang mengajarkan metode penafsiran dan mengantarkan seorang mufassir bagaimana mendapati makna secara lahir bagi suatu ayat, serta pelajaran metode memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.
Akan tetapi penjelasan-penjelasan dari ma’shumin merupakan penjelasan kaitan-kaitan yang tidak dimiliki oleh ayat-ayat lainnya. Di antara penjelasan-penjelasan itu ialah berkaitan dengan ayat-ayat hukum atau penjelasan makna-makna yang tersirat bagi al-Qur`an, yang dalam hal ini harus memanfaatkan penjelasan-penjelasan mereka.
Alhasil, memahami apa yang tampak dari al-Qur`an berdasarkan kaidah-kaidah percakapan uqala`i, diakui dan tetaplah berarti sebagaimana kapasitasnya.
3-Memperhatikan keselarasan penafsiran ayat-ayat satu dengan yang lain;
Untuk memahami al-Qur`an, harus memperhatikan sekumpulan ayat dan keselarasan apa yang ditunjukkannya satu dengan yang lain. Jangan sampai penelitian ayat atau ayat-ayat al-Qur`an tanpa memperhatikan keselarasannya dengan ayat-ayat lainnya. Sebab, pertama al-Qur`an adalah satu kumpulan yang mengejar satu tujuan. Kedua, ayat-ayat itu terbagi pada yang muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, ‘am dank has, muthlaq dan muqayyad dan sebagainya. Oleh karena itu, di antara kesalahan yang fatal dalam menafsirkan dan memahami al-Qur`an adalah ayat ditafsirkan dengan berpaling dari ayat-ayat lainnya. Sebagai dampaknya, muncul bermacam-macam aliran dan keyakinan, yang berbeda dan kontradiksi satu dengan yang lain. Akibat pengabaian ini, Islam pun di sepanjang keberadaannya disalah pahami dan dianggap menyulitkan.
Sehubungan dengan ini, Syahid Shadr (semoga Allah merahmatinya) mengatakan: “Tafsir ayat dengan ayat terpisah dari keterkaitan konseptualnya dengan ayat-ayat lain, menyebabkan munculnya pelbagai kontradiksi teologis di sepanjang hidup Islam. Sebab, setiap mufassir berpegang pada ayat yang mendukung aliran pemikirannya terpisah dari ayat-ayat lainnya, dan memandang ayat itu sebagai dalil atas kebenaran keyakinannya. Alhasil, menyebabkan lahirnya mazhab-mazhab teologis seperti Jabariah, Mufawidhah dan Mujassimah.”
Kaidah ini terlontar sehubungan dengan semua ayat al-Qur`an; ayat-ayat yang berbicara tentang sunnatullah atau ayat-ayat hukum atau ayat-ayat historis dan lainnya. Pentingnya kaidah ini karena kedalaman dan kejeliannya terkait ayat-ayat pengetahuan berdasarkan pola kehidupan dan pengetahuan dalam kehidupan manusia berdasarkan keahliannya. Sebagai contoh, banyak ayat yang di dalamnya mensifati Allah dengan berilmu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, hidup, mutakallim dan sifat-sifat jamaliah lainnya. Juga sifat-sifat jalaliah yang mensucikan Allah swt.
Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata: “Siapa yang mensifati Allah ia telah membatasi-Nya dan siapa yang membatasinya ia telah menjadikan-Nya berbilang, dan siapa yang menjadikan-Nya berbilang ia telah melenyapkan kemaha dahuluan-Nya atas segala sesuatu.”
Jadi, semua ayat tentang sifat-sifat Allah swt harus ditafsirkan dalam rangka menetapkan semua sifat kesempurnaan bagi-Nya, dengan menjaga keterkaitan dan jauh dari segala kontradiksi seperti tarkîb dan hudûts (rangkaian dan kebaruan yang merupakan sifat makhluk). Misalnya ayat:
«قد احاط بكل شى‏ء علما»
“Dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS: ath-Thalaq 12)
Ayat ini mengisyaratkan pada ilmu yang mutlak bagi Allah. Sifat ilmu ini dikukuhkan dalam arti tidak termasuk dalam kebaruan dan tidak mengalami perubahan (sebagai ciri khas makhluk) pada zat Allah. Perkara penting ini memerlukan pengetahuan kajian teologis dan filosofis. Al-Alusi menyebutnya ilmu teologis, dan tentang pentingnya ilmu ini ia mengatakan: “Tidak memiliki ilmu ini, akan menjerumuskan seorang mufassir kepada kehancuran.”
4-Memperhatikan prinsip-prinsip menafsirkan al-Qur`an;
Ada beberapa masalah yang memiliki efek penilaian positif atau negatifnya, diterima atau ditolaknya masalah-masalah itu dalam penafsiran ayat-ayat. Seperti kemukjizatan al-Qur`an, sebagaimana adanya penjelasan-penjelasan al-Qur`an, komprehensifitas al-Qur`an dan keterjagaannya dari tahrif. Seorang mufassir harus mempelajari masalah-masalah itu dengan benar dan seksama. Ia dalam penafsirannya meletakkan dasar-dasar bagi masalah-masalah itu dan mempertimbangkan kesimpulan-kesimpulan interpretatifnya dengan masalah-masalah tersebut. Kesimpulan yang menafikan mukjizat al-Qur`an atau melazimkan tahrif al-Qur`an, jelas sekali merupakan kesimpulan yang salah.
Dalam pembahasan komprehensifitas al-Qur`an mengenai tolok ukur keluasan ruang lingkupnya, dan sebagaimana penjelasan-penjelasan al-Qur`an sesuai dengan kenyataan, memberi petunjuk kepada mufassir bagaimana menfasirkan ayat-ayat al-Qur`an. Misalnya, bagaimana menafsirkan ayat-ayat berkenaan dengan fenomena-fenomena alam ini dan kehidupan duniawi manusia, dan apa konsepsi-konsepsi yang dia peroleh dari ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah ilmiah.
5-Memperhatikan kaidah-kaidah ilmu ushul dan mantiq;
Telah disampaikan sebelumnya, ayat-ayat al-Qur`an satu dengan yang lain saling berkenaan. Dalam keseluruhan al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, zhahir, sharih dan sebagainya. Di dalamnya terdapat makna-makna yang sebagian merupakan manthuq (yang tersurat) dan sebagian merupakan mafhum (yang tersirat).
Dalam penerapan yang benar bagi ayat-ayat tersebut, kita harus mengetahui kekhususan tiap-tiap ayat; bagaimana kita menimbang ayat-ayat satu dengan lain dan menerapkan kaidah taqaddum dan ta`akhur (mendahulukan dan mengakhirkan) bagi tiap ayat dan jenis efek yang dimiliki satu ayat atas ayat yang lain. Masalah-masalah ini dibahas dalam ilmu usul pada bab yang terkait. Oleh karena itu, bagi seorang mufassir harus mengetahui kaidah-kaidah ini, untuk mencapai pemahaman akan ayat-ayat al-Qur`an. Ia pun harus mengetahui argumen-argumen rasional dan perdebatan-perdebatan teologis di sela ayat-ayat al-Qur`an, dan menguasai ilmu mantiq.
Kaidah keberlakuan dan kesesuaian dalam ayat-ayat, untuk mencapai kesimpulan memang harus memperhatikan sebab turunnya. Namun tidak berarti, apa yang ditunjukkan oleh ayat dan maknanya terbatas pada sebab turunnya ayat. Sebab, al-Qur`an selain merupakan kalam yang turun di masa tertentu, dalam kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa tertentu. Juga sebagaimana yang telah disampaikan, al-Qur`an memuat risalah universal dan untuk sepanjang masa. Oleh karena itu, makna-makna yang terkandung tidak terbatas pada masa turunnya. Tetapi juga mencakup segala ruang dan waktu. Sebab al-Qur`an laksana misal-misal, yang tak sebatas perkara yang ada di masa itu, tetapi berlaku pada semua ekstensi yang sama tolok ukurnya dengan perkara yang terkait dengan turunnya ayat.
Mengenai tersebut, Allamah Thabathaba`i mengatakan: “Jika ada riwayat-riwayat dalam perkara yang berkenaan dengan turunnya ayat, hendaknya kita tidak menilai ayat untuk khusus peristiwa terkait, yang kemudian ayat itu menjadi gugur setelah berlalunya kejadian dan masa penilaian itu. Sebab, penjelasan ayat adalah umum dan memutlakkan sebabnya. Jadi apabila ayat melontarkan pujian bagi beberapa orang mukmin dan celaan terhadap yang lain, pujian dan celaannya itu adalah untuk menjelaskan sifat-sifat yang mereka miliki. Penilaian ayat hendaklah tidak dipandang berlaku sebatas mereka (yang hidup di masa itu), tetapi berlaku bagi siapa saja menyandang sifat-sifat (terpuji dan tercela) itu.”
Kekhususan yang dimiliki ayat-ayat, yaitu potensi keberlakukan pelbagai ekstensi di manapun dan kapanpun, disebut dengan kaidah jary wa ithbaq. Istilah ini –sebagai yang disampaikan Allamah- diperoleh dari penjelasan-penjelasan para mas’humin. Dalam Tafsir ‘Ayasyi disebutkan riwayat dari Fudhail bin Sayar yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Imam Baqir as tentang riwayat beliau “Tiada ayat dalam al-Qur`an melainkan memuat yang lahir dan batin.”
Beliau menjawab, “Yang lahir bagi al-Qur`an ialah penurunan al-Qur`an, sedangkan yang batin adalah penakwilannya. Sebagian takwil-takwilnya telah berlalu dan sebagian lainnya belum muncul. Bila ada sesuatu sebagai antara lain dari takwil-takwilnya, merupakan ekstensi bagi takwil-takwilnya.”
Dari situ menjadi jelas bahwa apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat merupakan tafsir bagi suatu ayat, dan menjadikan ayat itu berlaku bagi satu atau beberapa orang, menjadi bagian dari masalah jary wa ithbaq dan masuk dalam penjelasan ekstensinya. Bukan merupakan bagian dari masalah keterbatasan.
6-Kontradiksi Kaidah-kaidah;
Kontradiksi adalah keberlawanan dalil-dalil dan penafian satu sama lain. Dalam arti bahwa yang satu menunjukkan pengukuhan (itsbat) bagi suatu perkara, dan yang lain menunjukkan penafian baginya. Kemudian tidak memungkinkan untuk menggabungkan keduanya. Jadi apabila terdapat perbedaan (bertentangan) antara dalil-dalil yang memungkinkan untuk digabung, maka tidak dapat dikatakan kontradiksi. Misalnya, dalam tafsir ayat suci:
«اهدنا الصراط المستقیم‏»
Diterangkan bahwa yang dimaksud olehnya, adalah al-Qur`an, Islam, jalan ubudiyah dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw. Makna-makna ini tidak saling bertentangan. Sebab, Islam adalah jalan al-Qur`an. Keduanya merupakan ubudiyah, dan ketiga-tiganya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw. Menurut kaidah-kaidah ini, makna-makna tersebut saling berlawanan dan tidak keluar dari tiga asumsi: pertama, keduanya (antara dua makna yang berlainan) adalah bersifat meyakinkan (qath’i). Kedua, yang satu qath’i dan yang lain bersifat mendekati yakin (zhanni).
Asumsi pertama, kosong dari ekstensi luar. Yakni tidak akan terjadi dua dalil qath’i yang saling bertentangan. Sebab dua dalil qath’i yang kontradiktif, klaim masing-masing mengungkap realitas secara yakin. Padahal pada kenyataannya, hanya satu dari dua yang saling bertentangan itu bisa terwujud. Sebab, terwujudnya dua yang bertentangan itu melazimkan berkumpulnya dua kontrakdiksi, yang hal ini jelas batil. Jadi mustahil dua dalil yang kontradiksi secara pasti (qath’i). Bahkan yang pasti, satu yang kâdzib (tidak benar).
Pada asumsi kedua, dalil zhan akan tereliminasi, dan yang diambil adalah dalil qath’i. Pada asumsi ketiga, harus dilihat manakah yang lebih memberatkan (sebagaimana dijelaskan dalam ilmu usul). Setelah didapati dalil yang lebih memberatkan, maka hasilnya ialah hanya mengutamakan apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu condong pada madlûl (apa yang ditunjukkan oleh dalil).
Kaidah Universal bagi Penafsiran
Dalam hal memahami al-Qur`an, kita akan mengambil ayat yang mempunyai makna dan konsepsi yang jelas. Seperti ayat:
«اقیموا الصلاة و آتو الزكاة‏»
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat..” (QS: al-Baqarah 43)
Atau ayat:
«ولاتقربوا الزنا»
Dan janganlah kamu mendekati zina..” (QS: al-Isra 32)
Sebagaimana konsepsi ayat merupakan zhahir (tampak), tidak tegas (sharih). Jika dalil qath’i (‘aqli ataupun naqli) menunjukkan pada makna itu, maka harus diambil. Namun jika dalil qath’i bertentangan dengannya, maka zhahir ayat harus ditakwil.
Dalil zhanni (‘aqli ataupun naqli) –walau merupakan khabar sahih- sesuai dengan zhahir ayat, maka memberatkan makna yang zhahir. Tetapi bukan sebagai sebab bagi berpaling pada makna itu. (Dalam fikih berpegang pada khabar wahid merupakan keharusan dan wajib menerapkannya berdasarkan dalil ini, tetapi dalam tafsir tidak demikian).(15) Jika dalil zhanni bertentangan dengan zhahir ayat, maka dalil itu tidak diambil.
Adapun ayat-ayat mutasyabihat, harus bertolak pada ayat-ayat muhkamat dan ditafsir dengannya. Sebab mutasyabih suatu ayat tidak mandiri dalam mengantarkan madlûl ayat (apa yang ditunjukkan olehnya), dan akan menjadi jelas dengan jalan kembali pada yang muhkamat. Bukan tidak ada jalan untuk memahami madlûlnya.(16)
Penulis: Habibullah Zare'i