A.
Pendahuluan
Mempelajari dan menganalisa aliran dan pemikiran Mu’tazilah dalam
perkembangan pemikiran islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan
signifikan. Di sebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan teologi islam
yang tertua dan terbesar yang telah memaiankan peranan penting dalam pemikiran
dunia islam(A Hanafi MA 64). Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi
kesadaran dunia islam dalam kemajuan dan kemodernannya.
Di
sebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian
dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran islam sebagai counter
peradaban (civilization counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi
lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi
yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya,
dan ekonomi bagi peradaban islam masa kini.
Disini saya akan mengangkat tentang asal muasal faham Mu’tazilah
dalam teologi islam. Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari
pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam
pembahasannya, mereka banya k memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
rasionalis islam”.
Asal
muasal nama Mu’tazilah sendiri berpusat pada peristiwa yang terjadi antara
Wasil bin ‘Ata’ serta temannya ‘Amr bin ubaid dan Hasan al-basri di Bashrah.
Menurut
Al-Mas’udi memberkan keterangan lain lagi, yaitu tidak berhubungan dengan
permasalahan antara Wasil dan Amr dari satu pihak hasan Al-basri dari pihak
lain. Mereka di sebut kaum Mu’tazilah karena meraka berpendapat bahwa orang
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara
kedua posisi itu (al-manzilah bain al-manzilatain) menurut versi ini mereka di
sebut Mu’tazilah, karena mereka membuat orang berdosa besar jauh dari (dalam
arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Mu’tazilah sendiri sudah ada sejak zaman saidina Ali
bin Abi Talib. Disitu di tulis karena
kaum Khawarij kaum yang dulunya membela saidina Ali membelot meninggalkan
saidina Ali, dan memandang Khalifah ‘Usman, saidina Ali, Muawiyah dan orang
berdosa besar lainnya kafir. Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah sendiri
memang sulit, karena banyak pendapat yang berbeda-beda yang pernah saya
ketahui. Mereka juga kaum Mu’tazilah sendiri bukan nama ejekan, karena dalam
Al-quran sendiri I’tazilah mengandung artian pujian (di kutip dari nasy’ah hal
430/31). Mereka juga sering menyebut mereka sebagia Ahl al ‘adl dalam artian
yang mempertahankan keadilan tuhan, faham-faham teologi dalam islam lainnya
yang termasuk lawan-lawan dari Mu’tazilah sendiri memakai nama-nama seperti
al-Qadariah, karena mereka menganut faham Free will dan free act al-muattilah,
karena mereka berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, dalam arti sifat
mempunyai wujud di luar zat tuhan, dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat
bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan
tak akan menimpa diri mereka.
Dalam
ajaran Mu’tazilah sendiri yang sangat berpengaruh membawa faham ini adalah
Wasil bin Ata, dia biasa di sebut syaikh al mu’tazilah wa qadimuha yaitu kepala
dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir di tahun 81 H di madinah dan meninggal
tahun 131 H. disana dia belajar pada abu hasyim Abdullah bin Muhammad bin
al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-basri.
C.
Mu’tazilah Dalam Lintas Sejarah
1. Definisi Mu’tazilah
a.
Secara Etimologi
Mu’tazilah
adalah kata dalam bahasa arab yang asalnya yaitu ‘aza atau i’tazala, kata-kata
ini diulang dalam Al-quran sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti
sama yaitu al ibti’ad ‘ani al- syai-i : menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu
redaksi ayat :
إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ أَوْ جَاءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَنْ
يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَسَلَّطَهُمْ
عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ
سَبِيلًا (90)
90. kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) [331] atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya[332]. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu[333] maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.
b.
Secara Terminologi Para Ulama
Mu’tazilah
adalah firqoh Islamiyyah (aliran dalam islam) yang muncul pada masa akhir
dinasti umayyah dan tumbuh pesat pada masa dinasti abbasiyyah. Mereka berpegang
pada kekuatan rasionalitas an sich dalam memahami aqidah Islam (al-Aqidah al-Islamiyyah), hal itu
lebih sebagai bukti dari pengaruh berbagai “filsafat-filsafat import” yang
menyimpang dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.
Filsafat-filsafat
import itu di antaranya adalah filsafat Yunani dalam diskursus dzat dan sifat, filsafat Hindu,
dan aqidah Yahudi dan Nasrani.
Sedangkan
sebagian ulama, mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang berbeda
pendapat dengan umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang di
pimpin oleh Wasil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Basry.
Kalau
kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi, didapatkan
adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan
menyelisihi jalannya umat isla, khususnya Ahli Sunnah, dan bersendiri dengan konsep akalnya yang
khusus, sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah, tersembunyi dan
terputus.
2.
Perkembangannya
Berbiacara
tentang awal mula sejarah Mu’tazilah, orang akan selalu merujuk pada episode
diskusi Hasan al-Basri(w. 110 H/728 M), seorang ulama terkemuka pada
zamannya, dengan para muridnya di seputar tema muslim yes, muslim no yang baru
dalam taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunya seseorang dapat
memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakah termasuk orang dalam (in grup)
atau luar (out grup). Maka terhadap pertanyaan yang terlontar dalam diskusi
Hasan tadi, yang berkembang saat itu adalah jawaban-jawaban sebagai berikut:
Pertama,
Dengan melakukan dosa besar, seorang muslim telah terpental dari kelompoknya
(komunitas), alias menjadi “kafir”, dan karena itu -sesuai dengan hukum riddah-
halal di tumpahkan darahnya. Jawaban ini di ajukan oleh kelompok yang terkenal
dengan sebutan khawarij.
Kedua,
Mengatakan bahwa muslim yang melakukan dosa besar masih tergolong muslim,
adapun dalam kaitannya dengan dosa yang di lakukannya itu terserah tuhan di
akhirat nanti. Jawaban inilah yang agaknya di condongi umat islam yang di sebut
sebagai kelompok murjiah.
Hasan
al-Basri, selaku pemimpin dan tokoh yang merasa harus menjaga keutuhan umat,
berada dalam arus kecenderungan umum ini, yaitu bahwa identitas seseorang
apakah ada “di dalam” (minna) atau “di luar” (minhum) harus benar-benar jelas.
Itulah sebabnya ketika washil melontarkan pendapatnya yang melawan arus tadi
(bukan muslim dan bukan kafir), dengan nada menyesal, Hasan berkomentar: Ia
telah keluar dari kita. I’tazala’anna!. Kata i’tazala (hengkang) yang jadi
sebutan Mu’tazilah (yang hengkang dari arus umum) itu pun kemudian di tempelkan
kepada Washil bin Atha dan segenap pengikutnya. Mu’tazilah berkembang sebagai
satu pemikiran yang di tegakan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber
kebenaran pada awal abad kedua hijriyah, tepatnya tahun 105 atau 110 H di
akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Washil bin
Atha’Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh
bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang pada masa itu, sehingga di
dapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran
pemikiran jahmiyah, yang kemudian berkembang dari kota bashroh yang merupakan
tempat tinggalnya Al Hasan Al Basry, lalu menyebar dan merebak ke kota kufah
dan baghdad. Akan tetapi, pada masa ini Mu’tazilah menghadapi tekanan yang
sangat berat dari para pemimpin Dinasti Umayyah yang membuat aliran ini sulit
berkembang dan sangat terhambat penyebarannya, sehingga hal itu membuat mereka
sangat membenci Dinasti Umayyah karena penantangan mereka terhadap mazhab
(aliran) mu’tazilah dan i’tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan mereka
pun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Dinasti Umayyah
kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126 H)
karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam
hal ini berkata Al Mas’udy :”Yazid bin Waalid telah bermadzab dengan mazhab
Mu’tazilah dan pendapat mereka tentang iilmu pokok (ajaran mereka) yaitu At
Tauhid, Al Adl, Al Wa’iid, Al Asma wal Ahkam –yaitu pendapat manzilah baina
manzilatain- dan amar ma’ruf nahi munkar” dan berkata lagi:”(sehingga Mu’tazilah
mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul
Aziz”.
Permusuhan
dan perseteruan antara Dinasti Umayyah dan Mu’tazilah ini berlangsung terus
menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan tegaknya kekuasaan
Dinasti Abbasiyyah. Kemudian, bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Dinasti
Abbasiyyah, berkembanglah Mu’tazilah dengan mulainya mereka mengirim para dai
dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri islam untuk mendakwahkan mazhab dan
i’tikad mereka kepada kaum muslimin dan diantara yang memegang peran besar dan
penting dalam hal ini adalah Washil bin Atho’. Dan kesempatan ini mereka
peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan manhajnya memberikan dukungan
yang besar dalam mengokohkan dan menguatkan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah
khususnya pada zaman Al Ma’mun yang condong mengikut aqidah mereka, apalagi di
tambahh dengan persetujuan Al Ma’mun terhadap pendapat mereka tentang Al Quran
itu makhluk sampai-sampai Al Ma’mun mengerahkan seluruh kekuatan bersnjatanya
untuk memaksa manusia untuk mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut,
lalu beliau mengirimkan mandat kepada pembantunya di baghdad pada tahun 218 H
untuk menguji para hakim, muhadditsin, dan seluruh ulama dengan pendapat bahwa
Al Qur’an adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk
tidak menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut
dan menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para
ulama yang medapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al Imam Ahmad bin Hambal –dan
kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah
dan pendapat Ahli Sunnah Wal Jama’ah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur’an
adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Mu’tazilah
terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Dinasti Abbasiyyah
dari zaman Al Ma’mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman tersebut sekte
Mu’tazilah di jadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor yang membuat
mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang
menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan pedang sebagai ganti dari hujjah dan
dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan
dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian
mereka terpecah manjadi dua cabang:
1.
Cabang bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Washil bin Atho’. Amr
bin Ubaid, Usman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom,
Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syaham, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa’i, Abu
Hasyim Aljubaa’i dan yang lai-lainnya.
2.
Cabang baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu
Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abi Duaad, tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb,
ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abu Qasim Al
Balkhy Al Ka’by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya
faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan memperdalam ilmu kalam
adalah untuk membahas hujjah dengan hujjah dan untuk menghancurkan
hujjah-hujjah para musuh islam serta untuk membantah semua tuduhan dan
kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam mengutamakan
dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya, lalu mereka
menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah dan
Rububiyah-Nya, hujjah-hujjah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid’ah,
sebagiamana yang dikatakan Al Jaahidz:”dan sesuatu apakah yang lebih agung dari
segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan
kerububiyahan-robb, tidak dapat di tegakan hujjah-hujjah kenabian dan tidak
dapat dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang
terbayangkan dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jama’ah dari Al
Firqoh (kelompok yang menyempal) dan sunnah dari bid’ah serta kanehan dari yang
masyhur”.
Walaupun
Mu’tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami
kehidupan akal sehat abad kedua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak
mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran
dan kegagalan dalamm bidang tersebbut. Hal ini tampaknya terjadi karena mereka
tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan
mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh
pemikiran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran.
3.
Sebab Penamaannya.
Para
ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama
Mu’tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama,
penamaan Mu’tazilah hasil dari diskursus tentang masalah aqidah keagamaan,
seperti menghukumi pelaku dosa besar, tentang masalah qodar dalam artian,
apakah seorang hamba berkuasa atas perbuatannya atau tida. Dan pengusung
pemikiran ini menamai Mu’tazilah dengan beberapa sebab :
1.
Bahwasanya mereka meninggalkan kaum muslimin dengan perkataan manzilah baina
manzilataini (satu diantara dua tempat).
2.
Mereka menamai Mu’tazilah setelah hengkangnya washil bin atho’ dari halakoh
Hasan Al Basri dan membentuk halakoh khusus. Tentang hal ini, Hasan Al Basri
berkata “washil telah meninggalkan kita” bahwasanya mereka berkata wajib
meninggalkan pelaku dosa besar dan memboikotnya.
Kedua, penamaan Mu’tazilah lahir dari pergulatan politik di mana
kelompok orang-orang dari Syi’ah Ali meninggalkan Hasan ketika Mu’awiyyah
melepaskan jabatan (sebagai raja) Adapun sejarawan Mu’tazilah (Qadhi Abdu
al-Jabar al-hamdani) berpendapat bahwa Mu’tazilah bukan madzab baru atau firqah
baru, akan tetapi dia adalah pelanjut risalah Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya.
Penamaan tersebut, disebabkan mereka “menjauhi kejahatan”. Seperti dalam firman
Allah SWT:
واعتزلكم وما تدعون
D. Akar dan Produk Pemikiran Mu’tazilah
Mu’tazilah
sebagai sebuah aliran teologi memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri.
Yang dimaksud akar pemikiran di sini adalah dasar dan pola pemikiran yang
menjadi landasan pemahaman dan pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud
produk pemikiran adalah konsep-konsep yang dihasilkan dari dasar dan pola
pemikiran yang mereka yakini tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu
faham yang mengingkari takdir Allah; dan menjadikan akal (rasio) sebagai
satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah pemikiran
Mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi
ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan
dalam buku “al-mausu’ah al-muyassaroh fi’ladyan wa’lmadzahib wa’lahzab
al-mu’ashirah” bahwa pada awal sekte Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran
yang menyimpang (mubtadi’), yaitu:
1.
Pemukiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka
kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2.
Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang
kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan –mu’min
dan kafir- (manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari
dua pemikiran yang menyimpang ini kemudian berkembang dan melahirkan
pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan perkembangan mu’tazilah sebagai
sebuah sekte pemikiran.
Sejalan
dengan keberagamaan akal manusia dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan
oleh sekte Mu’tazilah ini pun sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi
melahirkan sub-sub sekte yang tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki
corak pemikiran tersendiri yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub
sekte tersebut.
Dalam
bukunya,”al-farqu baina ‘lfiraq”, Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte
Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte. Keduapuluh sub sekte ini disebutnya
sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh sub sekte tersebut masih ada lagi
dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang
sudah melampaui batas dalam kekafiran, kedua sekte tersebut adalah:
al-khabithiyah dan al-himariyyah. Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih
dari duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa
pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam
pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
-
Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki sifat azali. Dan pemikiran bahwa Allah
tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat, sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
-
Pemikiran tentang kemustahilan melihat Allah dengan mata kepala dan keyakinan
mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya dan yang lain pun
tidak bisa melihat “diri”-Nya.
-
Pemikiran tentang ke-baru-an (hadits) kalamullah dan ke-baru-an perintah,
larangan, dan khabar-Nya. Yang kemudian kebanyakan mereka mengatakan bahwa
kalamullah adalah makhluk-Nya.
-
Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta perbuatan manusia bukan pula pencipta
prilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa manusia sendirilah yang memiliki
kemampuan (Qudrah) atas perbuatanya sendiri dan Allah tidak memiliki peran
sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga seluruh prilaku hewan. Inilah
alasan Mu’tazilah disebut qodariyah oleh sebagaian kaum muslimin.
-
Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq berada dalam satu manzilah di antara
dua manzilah -mu’min dan kafir- (manzilatun baina manzilataini). Inilah alasan
mereka disebut Mu’tazilah.
-
Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia yang tidak di perintatahkan
oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah
kehendaki.
Inilah
sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas
Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran. Seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah
produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte
ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah
seorang ‘ulama’ yang disebutnya Imam ‘Abdullah ibn Mubarak. Menurut ibn
Taymiyyah, sarjana itu mengatakan demikian:
“Agama
adalah kepunyaan ahli hadist, kebohongan kepunyaan kaum Rafidla, (ilmu) kalam
kepunyaan kaum Mu’tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra’y (temuan
rasional)”
Selanjutnya, dari enam pemikiran yang menjadi konsensus seluruh
sub sekte Mu’tazilah di atas mereka merangkum kembali menjadi lima dasar
(ushul) pemikiran yang menjadi trade mark mereka.
Kelima dasar pemikiran tersebut adalah: al-tauhid, al-a’dl
(keadilan Allah), al-wa’d wa’lwa’id (janji dan ancaman Allah), al-manzilatu
baina ‘lmanzilataini, al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’munkar.
Secara
ringkas lima dasar pemikiran mu’tazilah ini di jelaskan dalam mausu’ah WAMY,
berikut kutipannya dengan sedikit perubahan:
(1) Al-Tauhid
Mereka
meyakini bahwa Allah di sucikan dari perumpamaan dan permisalan (laisa
kamislihi syai-un) dan tidak ada yang mampu menentang kekuasaan-Nya serta tidak
berlaku pada-Nya apa yang berlaku pada manusia. Ini adalah faham yang benar,
akan tetapi dari sini mereka menghasilkan konklusi yang bathil: kemustahilan
melihat Allah sebagai konsekwensi dari penegasian sifat-sifat (yang menyerupai
manusia); dan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagai konsekwensi dari
penegasian Allah memiliki sifat kalam.
(2)
Al ‘adl (keadilan Allah)
Maksud
mereka dengan keadilan Allah adalah bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan
hamba-hamba-Nya dan tidak menyukai kerusakan. Akan tetapi hamba-hamba-Nyalah
yang melakukan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa-apa yang
dilarang-Nya dengan kekuatan (qudrah) yang Allah jadikan buat mereka. Dan
bahwasanya Allah tidak memerintah kecuali dari yang dibenci-Nya. Dan Allah
adalah penolong bagi terlaksananya kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak
bertanggungjawab atas terjadinya kemungkaran yang dilarang-Nya.
(3)
Al-manzilatu bainalmanzilataini
Maksud
mereka adalah bahwa pendosa besar berada di antara dua kedudukan, ia tidak
berada dalam kedudukan mukmin juga kafir.
(4)
Al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar
Mereka
menetapkan bahwa hal ini (al-amru bilma’ruf wa al-nahyu ‘ani’lmungkar) adalah
kewajiban seluruh mu’minin sebagai bentuk penyebaran dakwah islam; penyampaian
hidayah bagi mereka yang tersesat; dan bimbingan bagi mereka yang menyimpang.
Semuanya dilakukan sesuai kemampuan, bagi yang mampu dengan penjelasan maka
dengan penjelasan, yang mampu dengan pedang maka dengan pedang.
Dari
pemaparan tentang pemikiran mu’tazilah di atas, terlihat bahwa akal adalah
satu-satunya sandaran pemikiran mereka. Oleh karena itu, terkenallah bahwa
mu’tazilah adalah pengusung teolagi nasionalitas. Teologi nasionalitas yang di
usung kaum mu’tazilah tersebut bercirikan :
Pertama,
kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti
harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiyah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan
lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta’wil dalam memahami wahyu.
Kedua,
Akal menunjukan kekkuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia
yang kuat, yaitu manusia dewasa, manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
mampu berdiri sendiri, mempunyhaio kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan
mampu berpikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah,
yang di barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa
kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun
pemikiran.
Ketiga,
Pemikiran filisofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha
Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam
ciptaan Tuhan, dalam al-Qur’an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan
apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu,
danperaturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi
rasional Mu’tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi,
kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan
tuhan, yang membawa pada perkembangn islam, bukan hanya filsafat, teta[pi juga
sains, pada nasa antara abad ke VIII dan XIII M.
Titik
lemah ideologi Mu’tazilah
Jika
Mu’tazilah, dengan teologi rasionalitasnya, dikategorikan sekte “pemuja” akal,
apakah dengan itu berarti mereka adalah golongan berakal?
Jika
kita masih memegang teguh Al Qur’an, maka Al Qur’an telah menyiapkan
jawabannya, Firman Allah dalam Qs. Ali Imran: 7 sebagai berikut:”Dia-lah yang
menutunkan Al Kitab (al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada, itulah
pokok-pokok isi al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripada untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Ayat
dia atas menegaskan bahwa terdapat dua jenis isi kandungan al Qur’an: Pertama,
ayat-ayat yang muhkamat, Kedua, ayat-ayat yang mutasyabihat. Kemudian
menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang selalu condong pada kesesatan
yaitu mereka yang selalu mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dan mencari-cari
ta’wilnya.
Lalu
kalau kita melihat produk pemikiran Mu’tazilah yang telah di paparkan di atas,
maka kita dengan mudah akan mengetahui bahwa apa yang banyak mereka bahas
adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ambil saja cotohnya tentang sifat-sifat Allah
yang Allah sendiri (dalam Al Qur’an) tidak menerangkannya secara detil
(tafsil). Lalu, dengan kecondongan kepada kesesatan, mereka mencari-cari ta’wil
yang seluruhnya disandarkan pada akal rasional. Akhirnya sampailah mereka pada
kesimpulan ayng sesat (sesuai kecondongan mereka) dengan mengaatakan bahwa
Allah tidak memiliki sifat azali kalam, Bashar, dan lain sebagainya. Lebih
sesat lagi mereka mengatakan dan meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh
mata manusia bahkan Allah sendiri tidak bisa melihat “diri”-Nya! sungguh
kesesatan yang nyata.
Selanjutnya,
karena kepuasanya manggunakan akal, mereka pun munggunakannya dalam segala
permasalahan hingga akhirnya menjadikannya sebagai satu-satunya sandaran,
menyingkirkan al Qur’an yang sebelumnya telah dilemahkan kedudukannya dengan
mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk Allah yang berperspektif telah dan
memiliki kekuatan; dan melupakan sunnah (juga) sebagai sumber hukum. Dari
realita tersebut, pantaslah jika Mu’tazilah kita golongan ke dalam kelompok
yang hatinya condong pada kesesatan seperti disitir dalam Ali Imran ayat tujuh
di atas.
Sementara
sebagai negasi dari kelompok yang hatinya condong pada kesesatan, Allah
menyebutkan orang-orang yang ilmunya mendalam (al rasikhuna fi’l’ilmi) dan
menjelaskan pendirian mereka dihadapan ayat-ayat mutasyabihat, mereka
berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami.” Mereka itulah para Ulul Albab (orang yang berakal),
satu-satunya golongan yang bisa mengambil pelajaran.
Jika al Qur’an mengatakan bahwa orang yang berkata,”Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi kami.” Adalah orang
yang mendalam ilmunya dan dinamainya dengan ulul albab (orang yang berakal),
lalu dinmakan Mu’tazilah berada jika bukan di golongan (yang cenderung pada)
kesesatan?
Secara
logika sehat (rasional) sendiri, ideologi Mu’tazilah sudah terpatahkan. Coba
kita bukan cakrawala kita dengan bebas menembus seluruh alam semesta, bayangkan
ribuan bintang, planet, meteorid dan berbagai benda angkasa yang ada di
semesta; lalu kembali lagi ke bumi yang usianya sudah bermilyar-milyaran tahun,
bayangkan gunung dengan segala karakteristik dan isinyaa, bayangkan hutan
dengan bintang-bintang yang mengisinya dengan berbagai macam jenis dan
bentuknya, kemudian saksikan laut yang lebih luas dari daratan yang sangat
menyimpan rahasia yang tidak banyak diketahui, Adakah, dalam sejarah, seseorang
dengan kekuatan akalnya mampu mengetahui seluruh benda makhluk Allah itu?
Jika
makhluk-makhluk-Nya saja tidak mampu difikirkan, apa jaminannya akal akan mampu
memikirkan Allah, Sang pencipta! Sungguh kesombongan yang nyata mengisi rongga
hati manusia yang ngotot ingin memikirkan dan merasionalisasikan Allah. Mereka
adalah manusia yang men-tuhan-kan hawa nafsu, nafsu intelektual mereka. Tentang
hal ini Allah berfirman:
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mngunci mati pendengaran
dan hatinya dan meletakan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran?” (Qs. Al Jasiyah,45;23)
E.
Pemikiran Kalam Mu’tazilah
a.
Pengertian
Kata
Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab a’tazala, artinya mengambil jarak
memisahkan diri (Cyirl Glase : 292). Untuk mengetahui sejarah sebutan
Mu’tazilah sangat sulit, karena banyak pendapat yang diajukan untuk menjelaskan
awal kelahirannya. Diantara pendapat-pendapat tersebut antara lain:
Pertama,
Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Ata dan Amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri
(i’tazala) dari pengajian Hasan al-Basri di masjid Bashrah, kemudian membentuk
pengajiannya sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang
mengerjakan dosa besar, tidak mukmin lengkap dan juga tidak kafir lengkap,
melainkan berada dalam satu tempat diantara dua tempat (Harun Nasution : 38).
Kedua,
Pendapat kedua menyebutkan bahwa Wasil bin “Ata dan Amr bin ‘Ubaid diusir oleh
Hasan al Basri dari majlisnya karena adanya perbedaan pendapat mengenai qadar
dan tempat diantara dua tempat keduanya beserta pengikutnya memisahkan diri
dari Hasan al Basri. Mereka disebut Mu’tazilah, karena menjauhkan diri faham
umat Islam. Ketiga, Istilah i’tazala dan Mu’tazilah telah lama dikenal sebelum
terjasinya peristiwa Basrah tersebut. Pendapat ini merujuk kepada sejarah yang
menyebutkan bahwa awal kesadaran Mu’tazilah telah lama berkembang sebelum
peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan al Basri. Pada saat itu sebutan Mu’tazilah
diberikan kepada komunitas yang tidak melibatkan diri dalam konflik politik
antara Ali dan Muawiyyah (Tha’ib Tahir : 102).
Berbagai pendapat di atas menunjukan tidak adanya satu kata
sepakat dalam sejarah awal kelahiran aliran Mu’tazilah. Tetapi yang sangat
jelas adalah aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi liberal dan rasional
dalam islam, yang timbbul setelah peristiwa Wasil bin ‘Ata dan Hasan Al Basri.
Sementara
kaum Mu’tazilah sendiri lebih menyukai sebutan ahlul ‘adli wa al tauhid, mereka
mengakui diri sebagai golongan pembela ketauhidan dan keadilan.
b.
Sumber-sumber Pemikiran Mu’tazilah
Secara
garis besar, sumber tradisi pemikiran Mu’tazilah ada 4, yaitu:
1.
Tradisi politik Islam
Doktrin-doktrin
aliran Mu’tazilah sangat berkaitan dengan pemikiran kalam, teteapi secara
historis mengandung muatan-muatan politik. Berdasarkan historiografis, jjika
melihat konteks sosial ketika doktrin Mu’tazilah itu muncul, akan di temukan
bahwa persoalan yang berkembang pada saat itu adalah masalah sifat Tuhan, yaitu
sifat al qudrat dan al iradat, apakah tuhan secara azali sudah menetapkan dan
menghendaki perbuatan manusia atau tidak. Kemudian melahirkan perseteruan
antara yang meyakini kebebasan manusia yang melahirkan aliran qadariah awal dan
yang menafikan kebebasan manusia yang melahirkan mazhab jabariah.
Doktrin
Mu’tazilah mengenai kebebasan berkehendak dan doktrin lainnya, dijadikan
kekuatan untuk melawan pihak penguasa (Umayah) yang mempertahankan rezimnya
dengan argumentasi takdir Tuhan sebagaimana yang dikemukakan tradisionalis
(jabariyah) (Cyril Glase:292). Dalam peerjalanan sejarah dapat dilihat mazhab
jabariyahkalah yang menjadi ideologi negara yang dianut pada masa Umayah, utnuk
melindungi dan melegitimasi supremasi kekuasaan yang korup (Hendar Riyadi:
219). Mazhab Qadariyah yang berkeyakinan akan kebebasan manusia menjadi oposisi
pemerintah Umayah. Diantara pertikaian poitik antara Jabariyah dan Qadariyah
ini muncul Wasil bin ‘Ata dengan al-manzilat baina al-manzilatain (tempat diatara
dua tempat). Pertentangan politik tersebut kemudian dimenangkan oleh Abbasiyyah
yang di dalamnya Mu’tazilah turut berperan.
F.
Tradisi Filsafat Yunani
Ali
Musthafa al-Ghurabi seperti yang dikutip oleh Hedar Riayadi membagi kesadaran
Mu’tazilah kepada 3 periode :
Pertama,
Generasi ke-1 yang diwakili oleh Wasil bin ‘Ata dan Amr bin Ubaid. Wasil hidup
pada nasa pemerintahan Umayah, sedangkan Amr bin Ubaid mengetahui periode awal
pemerintahan abbasiyyah. Generasi ke-1 ini belum dan tidak banyak bersentuhan dengan
tradisi Yunani, maka pandangan teologisnya masih bersumber pada teks keagamaan
(al Qur’an dan al Sunnah). Hal ini disebabkan karena Mu’tazilah lahirnya di
madinah tempat para sahabat dan tabi’in berkumpul memegang teguh teks-teks
teologis yang sumbernya dari al Qur’an dan al Sunnah.(Hedar Riyadi:221).
Meskipun demikian generasi ke-1 ini telah menggunakan kecenderungan penggunaan
akal/rasio, karena pada saat itu Mu’tazilah telah bersentuhan dengan tradisi
rasionalisasi dari Irak (persia).
Kedua,
generasi kedua diwakili oleh Abu al-Huzail dan al-Zahzam. Generasi kedua ini
telah mengenal dari dekat dan mempelajari filsafat yunani. Kecuali alat
berpikir logika dari Grik dan Nyaya dari India, maka aliran filsafat yang hidup
dalam lingkungan lawan tiu haruslah di dalami dan dikuasai sebaik-baiknya
(Joesoef Sou’yb: 14). Dengan begitu terjadilah kegiatan besar dalam bidang
penyalinan literatur Grik, India, Siryani, Kopti dan Iran ke dalam bahasa Arab,
taerutama pada masa Khalifah al Ma’mun dan khalifah berikutnya. Menurut
al-Jabiri, penerjemahan karya-karya filsafat Yunani sebagai kerja ilmiah yang
dilakukan al Ma’mun merupakan bagian dari strategi umum yang dilakukan Dinasti
Abbasiyyah. Sebab pada saat itu ada nalar-nalar pesaing yang bersifat ideologis
untuk menaburkan benih keraguan terhadap islam dan untuk menurunkan Dinasti
Abbasiyyah. Mereka memanfaatkan segala prinsip yang ada dalam
peradaban-peradaban asing yang mereka kenal. Sejak dulu sudah nampak bahwa
al-Allaf dan al-Nazham membuka pemikirannya untuk menerima sebagian pandangan
filosofis Yunani (A Hanafi MA : 40). Penerjemahan buku-buku dan sumber tradisi
yunani tersebut telah memberi pengaruh terhadap bahasa, paradigma berpikir dan
keilmuan aliran Mu’tazilah. Jadi sumber nalar aliran Mu’tazilah selain
al-Qur’an dan al-Sunnah juga pandangan masyarakat asing yang masuk dalam
pergaulan islam dan buku-buku filsafat Yunani.
Ketiga, Generasi yang diwakili oleh Abu’Ali al Juba’i dan Abu
Hasyim. Penerjemahan karya-karya Yunani terus berlanjut, hanya saja khalifah
al-Makmun telah meniggal. Mu’tazilah mengalami kemunduran terutama ketika
khalifah al-Mutawakili mendeklarasikan pencabutan mazhab Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi negara.
G. Penutup
Aliran pemiiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran islam,
merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena
aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi islam yang tertua dan terbesar yang
telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia islam. Hal menarik
lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia islam dalam
kemajuan dan kemoderenannya. Disebut signifikan karena mempelajari tentang
aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan
wacana kesadaran islam sebagai counter peradaban (civilization cuonter)
terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi
interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya
dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi bagi
peradaban islam masa kini.
Mu’tazilah sendiri adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari
pada persoalan-persoalan teologi-teologi dalam islam lainnya, mereka dalam
membahasnya, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
rasionalis islam”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar