Adapun perkataan para sahabat Nabi, ulama Ahlussunnah
berbeda pendapat mengenainya. Sebagian dari mereka seperti Ibnu Katsir
menyampaikan secara ringkas -tanpa terperinci- keharusan merujuk pada perkataan
para sahabat (tentunya) setelah al-Qur`an dan sunnah Nabi. Ia mengatakan: “Bila
kita tidak menemukan pembicaraan dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi saw mengenai
tafsir ayat, kita merujuk pada ucapan para sahabat. Sebab mereka lebih
mengetahui al-Qur`an, dengan alas an bahwa mereka menyaksikan qarinah-qarinah
ayat dan memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar dan
pengamalan yang baik.”
Sebagian yang lain dengan terperinci mengatakan: “Jika
perkataan para sahabat Nabi terkait sebab turunnya al-Qur`an atau masalah yang
ijtihad mereka tidak mempunyai intervensi di dalamnya, tidak diperkenankan
meninggalkan perkataan mereka dan merujuk pada yang lain. Sebab apa yang mereka
katakan itu adalah dari mendengar (langsung) dari Nabi saw.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa jika pandangan para
sahabat lahir dari ijtihad mereka, tidak harus menerimanya. Adz-Dzahabi dalam
kitab “at-Tafsir wa al-Mufassirun” menyinggung dua pandangan di atas, sebagai
berikut: “Sebagian berpendapat tidak harus menerima pandangan para sahabat.
Karena menurut pendapat ini, mereka dalam ijtihad tak beda dengan ijitihad yang
lain, yang bisa salah. Sebagian yang lain mengatakan: “Adalah harus menerima
pandangan mereka. Sebab, pertama ada kemungkinan bahwa apa yang mereka katakan
adalah dengan mendengar dari Rasulullah saw. Kedua, andaipun itu ijtihad dan
pandangan pribadi mereka, mereka adalah pemilik bahasa al-Qur`an; memiliki
keistimewaan sebagai sahabat Rasulullah saw; berprilaku akhlak beliau. Di masa
turunnya ayat-ayat al-Qur`an, mereka menyaksikan qarinah-qarinahnya. Maka
ijtihad mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, mengakui pandangan
mereka adalah wajib.”(14)
Menurut ulama Syiah, perkataan para sahabat dan tabi’in
tidak menjadi ukuran. Ucapan mereka diterima apabila menyingkap ucapan para
ma’shumin (Nabi saw dan Ahlulbait as). Jika perkataan mereka tidak berujung
pada seorang ma’shum, atau tidak mendekati keyakinan seperti “khabar wahid”,
maka tidak memiliki peran yang menentukan dalam penafsiran. Mereka hanya
memiliki nilai telaah historis. Poin lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa
Nabi saw dan para imam suci as sebagai pengajar dan pemberi penjelasan, bukan
dengan demikian pemahaman kita tentang al-Qur`an tidaklah berarti. Tetapi,
penjelasan-penjelasan mereka terkadang memuat aspek penafsiran dan penjelasan
makna lahir suatu ayat. Seperti riwayat-riwayat di atas, yang mengajarkan
metode penafsiran dan mengantarkan seorang mufassir bagaimana mendapati makna
secara lahir bagi suatu ayat, serta pelajaran metode memahami dan menafsirkan
ayat-ayat al-Qur`an.
Akan tetapi penjelasan-penjelasan dari ma’shumin
merupakan penjelasan kaitan-kaitan yang tidak dimiliki oleh ayat-ayat lainnya.
Di antara penjelasan-penjelasan itu ialah berkaitan dengan ayat-ayat hukum atau
penjelasan makna-makna yang tersirat bagi al-Qur`an, yang dalam hal ini harus
memanfaatkan penjelasan-penjelasan mereka.
Alhasil, memahami apa yang tampak dari al-Qur`an
berdasarkan kaidah-kaidah percakapan uqala`i, diakui dan tetaplah
berarti sebagaimana kapasitasnya.
3-Memperhatikan keselarasan penafsiran ayat-ayat satu
dengan yang lain;
Untuk memahami al-Qur`an, harus memperhatikan sekumpulan
ayat dan keselarasan apa yang ditunjukkannya satu dengan yang lain. Jangan
sampai penelitian ayat atau ayat-ayat al-Qur`an tanpa memperhatikan
keselarasannya dengan ayat-ayat lainnya. Sebab, pertama al-Qur`an adalah satu
kumpulan yang mengejar satu tujuan. Kedua, ayat-ayat itu terbagi pada yang
muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, ‘am dank has, muthlaq dan muqayyad
dan sebagainya. Oleh karena itu, di antara kesalahan yang fatal dalam
menafsirkan dan memahami al-Qur`an adalah ayat ditafsirkan dengan berpaling
dari ayat-ayat lainnya. Sebagai dampaknya, muncul bermacam-macam aliran dan
keyakinan, yang berbeda dan kontradiksi satu dengan yang lain. Akibat
pengabaian ini, Islam pun di sepanjang keberadaannya disalah pahami dan
dianggap menyulitkan.
Sehubungan dengan ini, Syahid Shadr (semoga Allah
merahmatinya) mengatakan: “Tafsir ayat dengan ayat terpisah dari keterkaitan
konseptualnya dengan ayat-ayat lain, menyebabkan munculnya pelbagai kontradiksi
teologis di sepanjang hidup Islam. Sebab, setiap mufassir berpegang pada ayat
yang mendukung aliran pemikirannya terpisah dari ayat-ayat lainnya, dan
memandang ayat itu sebagai dalil atas kebenaran keyakinannya. Alhasil,
menyebabkan lahirnya mazhab-mazhab teologis seperti Jabariah, Mufawidhah dan
Mujassimah.”
Kaidah ini terlontar sehubungan dengan semua ayat
al-Qur`an; ayat-ayat yang berbicara tentang sunnatullah atau ayat-ayat hukum
atau ayat-ayat historis dan lainnya. Pentingnya kaidah ini karena kedalaman dan
kejeliannya terkait ayat-ayat pengetahuan berdasarkan pola kehidupan dan
pengetahuan dalam kehidupan manusia berdasarkan keahliannya. Sebagai contoh,
banyak ayat yang di dalamnya mensifati Allah dengan berilmu, berkuasa,
berkehendak, mendengar, melihat, hidup, mutakallim dan sifat-sifat jamaliah
lainnya. Juga sifat-sifat jalaliah yang mensucikan Allah swt.
Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata: “Siapa yang
mensifati Allah ia telah membatasi-Nya dan siapa yang membatasinya ia telah
menjadikan-Nya berbilang, dan siapa yang menjadikan-Nya berbilang ia telah
melenyapkan kemaha dahuluan-Nya atas segala sesuatu.”
Jadi, semua ayat tentang sifat-sifat Allah swt harus
ditafsirkan dalam rangka menetapkan semua sifat kesempurnaan bagi-Nya, dengan
menjaga keterkaitan dan jauh dari segala kontradiksi seperti tarkîb dan hudûts
(rangkaian dan kebaruan yang merupakan sifat makhluk). Misalnya ayat:
«قد احاط بكل
شىء علما»
“Dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala
sesuatu.” (QS: ath-Thalaq 12)
Ayat ini mengisyaratkan pada ilmu yang mutlak bagi Allah.
Sifat ilmu ini dikukuhkan dalam arti tidak termasuk dalam kebaruan dan tidak
mengalami perubahan (sebagai ciri khas makhluk) pada zat Allah. Perkara penting
ini memerlukan pengetahuan kajian teologis dan filosofis. Al-Alusi menyebutnya
ilmu teologis, dan tentang pentingnya ilmu ini ia mengatakan: “Tidak memiliki
ilmu ini, akan menjerumuskan seorang mufassir kepada kehancuran.”
4-Memperhatikan prinsip-prinsip menafsirkan al-Qur`an;
Ada beberapa masalah yang memiliki efek penilaian positif
atau negatifnya, diterima atau ditolaknya masalah-masalah itu dalam penafsiran
ayat-ayat. Seperti kemukjizatan al-Qur`an, sebagaimana adanya
penjelasan-penjelasan al-Qur`an, komprehensifitas al-Qur`an dan keterjagaannya
dari tahrif. Seorang mufassir harus mempelajari masalah-masalah itu dengan
benar dan seksama. Ia dalam penafsirannya meletakkan dasar-dasar bagi
masalah-masalah itu dan mempertimbangkan kesimpulan-kesimpulan interpretatifnya
dengan masalah-masalah tersebut. Kesimpulan yang menafikan mukjizat al-Qur`an
atau melazimkan tahrif al-Qur`an, jelas sekali merupakan kesimpulan yang salah.
Dalam pembahasan komprehensifitas al-Qur`an mengenai
tolok ukur keluasan ruang lingkupnya, dan sebagaimana penjelasan-penjelasan
al-Qur`an sesuai dengan kenyataan, memberi petunjuk kepada mufassir bagaimana
menfasirkan ayat-ayat al-Qur`an. Misalnya, bagaimana menafsirkan ayat-ayat
berkenaan dengan fenomena-fenomena alam ini dan kehidupan duniawi manusia, dan
apa konsepsi-konsepsi yang dia peroleh dari ayat-ayat yang berkenaan dengan
masalah-masalah ilmiah.
5-Memperhatikan kaidah-kaidah ilmu ushul dan mantiq;
Telah disampaikan sebelumnya, ayat-ayat al-Qur`an satu
dengan yang lain saling berkenaan. Dalam keseluruhan al-Qur`an terdapat
ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, zhahir, sharih dan
sebagainya. Di dalamnya terdapat makna-makna yang sebagian merupakan manthuq
(yang tersurat) dan sebagian merupakan mafhum (yang tersirat).
Dalam penerapan yang benar bagi ayat-ayat tersebut, kita
harus mengetahui kekhususan tiap-tiap ayat; bagaimana kita menimbang ayat-ayat
satu dengan lain dan menerapkan kaidah taqaddum dan ta`akhur
(mendahulukan dan mengakhirkan) bagi tiap ayat dan jenis efek yang dimiliki
satu ayat atas ayat yang lain. Masalah-masalah ini dibahas dalam ilmu usul pada
bab yang terkait. Oleh karena itu, bagi seorang mufassir harus mengetahui
kaidah-kaidah ini, untuk mencapai pemahaman akan ayat-ayat al-Qur`an. Ia pun
harus mengetahui argumen-argumen rasional dan perdebatan-perdebatan teologis di
sela ayat-ayat al-Qur`an, dan menguasai ilmu mantiq.
Kaidah keberlakuan dan kesesuaian dalam ayat-ayat, untuk
mencapai kesimpulan memang harus memperhatikan sebab turunnya. Namun tidak
berarti, apa yang ditunjukkan oleh ayat dan maknanya terbatas pada sebab
turunnya ayat. Sebab, al-Qur`an selain merupakan kalam yang turun di masa
tertentu, dalam kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa tertentu. Juga
sebagaimana yang telah disampaikan, al-Qur`an memuat risalah universal dan
untuk sepanjang masa. Oleh karena itu, makna-makna yang terkandung tidak
terbatas pada masa turunnya. Tetapi juga mencakup segala ruang dan waktu. Sebab
al-Qur`an laksana misal-misal, yang tak sebatas perkara yang ada di masa itu,
tetapi berlaku pada semua ekstensi yang sama tolok ukurnya dengan perkara yang
terkait dengan turunnya ayat.
Mengenai tersebut, Allamah Thabathaba`i mengatakan: “Jika
ada riwayat-riwayat dalam perkara yang berkenaan dengan turunnya ayat,
hendaknya kita tidak menilai ayat untuk khusus peristiwa terkait, yang kemudian
ayat itu menjadi gugur setelah berlalunya kejadian dan masa penilaian itu.
Sebab, penjelasan ayat adalah umum dan memutlakkan sebabnya. Jadi apabila ayat
melontarkan pujian bagi beberapa orang mukmin dan celaan terhadap yang lain,
pujian dan celaannya itu adalah untuk menjelaskan sifat-sifat yang mereka
miliki. Penilaian ayat hendaklah tidak dipandang berlaku sebatas mereka (yang
hidup di masa itu), tetapi berlaku bagi siapa saja menyandang sifat-sifat
(terpuji dan tercela) itu.”
Kekhususan yang dimiliki ayat-ayat, yaitu potensi
keberlakukan pelbagai ekstensi di manapun dan kapanpun, disebut dengan kaidah jary
wa ithbaq. Istilah ini –sebagai yang disampaikan Allamah- diperoleh dari
penjelasan-penjelasan para mas’humin. Dalam Tafsir ‘Ayasyi disebutkan riwayat
dari Fudhail bin Sayar yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Imam Baqir as
tentang riwayat beliau “Tiada ayat dalam al-Qur`an melainkan memuat yang lahir
dan batin.”
Beliau menjawab, “Yang lahir bagi al-Qur`an ialah
penurunan al-Qur`an, sedangkan yang batin adalah penakwilannya. Sebagian
takwil-takwilnya telah berlalu dan sebagian lainnya belum muncul. Bila ada
sesuatu sebagai antara lain dari takwil-takwilnya, merupakan ekstensi bagi takwil-takwilnya.”
Dari situ menjadi jelas bahwa apa yang terdapat dalam
riwayat-riwayat merupakan tafsir bagi suatu ayat, dan menjadikan ayat itu
berlaku bagi satu atau beberapa orang, menjadi bagian dari masalah jary wa
ithbaq dan masuk dalam penjelasan ekstensinya. Bukan merupakan bagian dari
masalah keterbatasan.
6-Kontradiksi Kaidah-kaidah;
Kontradiksi adalah keberlawanan dalil-dalil dan penafian
satu sama lain. Dalam arti bahwa yang satu menunjukkan pengukuhan (itsbat)
bagi suatu perkara, dan yang lain menunjukkan penafian baginya. Kemudian tidak
memungkinkan untuk menggabungkan keduanya. Jadi apabila terdapat perbedaan
(bertentangan) antara dalil-dalil yang memungkinkan untuk digabung, maka tidak
dapat dikatakan kontradiksi. Misalnya, dalam tafsir ayat suci:
«اهدنا الصراط
المستقیم»
Diterangkan bahwa yang dimaksud olehnya, adalah
al-Qur`an, Islam, jalan ubudiyah dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw.
Makna-makna ini tidak saling bertentangan. Sebab, Islam adalah jalan al-Qur`an.
Keduanya merupakan ubudiyah, dan ketiga-tiganya adalah ketaatan kepada Allah
dan Rasulullah saw. Menurut kaidah-kaidah ini, makna-makna tersebut saling
berlawanan dan tidak keluar dari tiga asumsi: pertama, keduanya (antara dua
makna yang berlainan) adalah bersifat meyakinkan (qath’i). Kedua, yang
satu qath’i dan yang lain bersifat mendekati yakin (zhanni).
Asumsi pertama, kosong dari ekstensi luar. Yakni tidak
akan terjadi dua dalil qath’i yang saling bertentangan. Sebab dua dalil qath’i
yang kontradiktif, klaim masing-masing mengungkap realitas secara yakin.
Padahal pada kenyataannya, hanya satu dari dua yang saling bertentangan itu
bisa terwujud. Sebab, terwujudnya dua yang bertentangan itu melazimkan
berkumpulnya dua kontrakdiksi, yang hal ini jelas batil. Jadi mustahil dua
dalil yang kontradiksi secara pasti (qath’i). Bahkan yang pasti, satu yang
kâdzib (tidak benar).
Pada asumsi kedua, dalil zhan akan tereliminasi, dan yang
diambil adalah dalil qath’i. Pada asumsi ketiga, harus dilihat manakah
yang lebih memberatkan (sebagaimana dijelaskan dalam ilmu usul). Setelah
didapati dalil yang lebih memberatkan, maka hasilnya ialah hanya mengutamakan
apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu condong pada madlûl (apa yang
ditunjukkan oleh dalil).
Kaidah Universal bagi Penafsiran
Dalam hal memahami al-Qur`an, kita akan mengambil ayat
yang mempunyai makna dan konsepsi yang jelas. Seperti ayat:
«اقیموا الصلاة
و آتو الزكاة»
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat..” (QS:
al-Baqarah 43)
Atau ayat:
«ولاتقربوا
الزنا»
“Dan janganlah kamu mendekati zina..” (QS: al-Isra
32)
Sebagaimana konsepsi ayat merupakan zhahir
(tampak), tidak tegas (sharih). Jika dalil qath’i (‘aqli ataupun naqli)
menunjukkan pada makna itu, maka harus diambil. Namun jika dalil qath’i
bertentangan dengannya, maka zhahir ayat harus ditakwil.
Dalil zhanni (‘aqli ataupun naqli) –walau merupakan
khabar sahih- sesuai dengan zhahir ayat, maka memberatkan makna yang
zhahir. Tetapi bukan sebagai sebab bagi berpaling pada makna itu. (Dalam fikih
berpegang pada khabar wahid merupakan keharusan dan wajib menerapkannya
berdasarkan dalil ini, tetapi dalam tafsir tidak demikian).(15) Jika dalil
zhanni bertentangan dengan zhahir ayat, maka dalil itu tidak diambil.
Adapun ayat-ayat mutasyabihat, harus bertolak pada
ayat-ayat muhkamat dan ditafsir dengannya. Sebab mutasyabih suatu ayat tidak
mandiri dalam mengantarkan madlûl ayat (apa yang ditunjukkan olehnya),
dan akan menjadi jelas dengan jalan kembali pada yang muhkamat. Bukan tidak ada
jalan untuk memahami madlûlnya.(16)
Penulis: Habibullah Zare'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar