Minggu, 14 Oktober 2012

Apakah Matematika Itu Ilmu Atau Filsafat??


ILMU DAN MATEMATIKA
PENDAHULUAN
Dalam filsafat ilmu pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan tertentu secara rasional. Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu.
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan salah satu cabang yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan. Yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Dalam filsafat ilmu dipelajari mengenai ilmu dan matematika. Ilmu tanpa matematika  tidak berkembang, matematika tanpa ilmu tak ada keteraturan.
Dengan pengetahuan manusia dapat mengembangkan mengatasi kelangsungan hidupnya, memikirkan hal-hal yang baru dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang khas di muka bumi ini.
Dalam tulisan ini hanya di paparkan  pengertian ilmu, pengertian matematika,  hubungan antara ilmu dan matematika. Ilmu dapat dipandang sebagai produk,sebagai proses dan sebagai paradigma ethika.Ia berusaha memahami alam sebagaimana adanya.
A. PENGERTIAN ILMU
Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya‘lamu, ‘ilman yang berarti mengerti, memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris ilmu disebut science dan bahasa latin scientia(pengetahuan). Dalam kamus besar bahasa Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan itu.
Ada orang yang menamakannya ilmu, ada yang menamakannya ilmu pengetahuan, dan ada pula yang menyebutnya saint. Keberagaman istilah tersebut adalah suatu usaha untuk melahirkan padanan (meng-Indonesiakan) kata science yang asalnya dari bahasa Inggris.
Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang yang dibaca dalam pustaka menunjukkan pada sekurang-kurangnya tiga hal: pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam hal yang pertama dan ini yang terumum, Ilmu senantiasa berarti pengetahuan. Diantara fara filsuf dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistimatis dari pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah.
Pengetahuan sesungguhnya hanyalah hasil atau produk dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dengan demikian dapatlah dipahami bilamana ada makna tambahan dari ilmu sebagai aktivitas( atau suatu proses yakni serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia). Menurut Prof Harold H Titus, banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objective dan dapat diperiksa kebenarannya.
Pengertian ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas atau metode itu bila ditinjau lebih mendalam sesungguhnya tidak saling bertentangan. Bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan aktivitas itu menghasilkan pengetahuan yang sistimatis.
B. PERKEMBANGAN ILMU
Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dibagi dalam tiga tahap yakni:
1. Tahap sistematis
Pada tahap ini ilmu mulai menggolong-golongkan objek empiris kedalam kategori-kategori tertentu yang memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum dari angggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ini merupakan pengetahuan manusia mengenali dunia fisik.
2. Tahap komparatif
Pada tahap ini ilmu mulai mencari hubungan yang didasarkan pada perbandingan antara berbagai objek yang kita kaji.
3. Tahap Kuantitatif
Pada tahap ini ilmu mencari hubungan sebab akibat berdasarkan pengukuran yang eksak dari objek yang kita selidiki.
C. PENGERTIAN MATEMATIKA
Matematika diambil dari bahasa Yunani, :(μαθηματικάmathēmatiká) Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge,science),  secara umum ditegaskan sebagai penelitian pola dari struktur, perubahan,dan ruang: tak lebih resmi, seorang mungkin mengatakan adalah penelitian bilangan dan angka. Dalam pandangan formalis, matematika adalah pemeriksaan aksioma yang menegaskan struktur abstrak menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; pandangan lain tergambar dalam filosofi matematika.
Beberapa aliran dalam filsafat matematika:
  1. Aliran Logistik
-         Pelopornya : Immanuel Kant (1724 – 1804)
-         Berpendapat bahwa matematika merupakan cara logis (logistik) yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris.
-         Matematika murni merupakan cabang dari logika, konsep matematika dapat di reduksikan menjadi konsep logika.
  1. Aliran Intuisionis
-         Pelopornya : Jan Brouwer (1881 – 1966)
-         Berpendapat bahwa matematika itu bersifat intusionis
-         Intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika bilangan. Hakekat sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuitif dalam berhitung dan menghitung.
  1. Aliran Formalis
-    Pelopornya :  David Hilbert (1862 – 1943)
-  Berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan tentang struktur formal dari lambang . Kaum formalis menekankan pada aspek formal dari matematika sebagai bahasa lambang dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika sebagai bahasa lambang.
-  Kaum Formalis membantah aliran logistik dan menyatakan bahwa masalah-masalah dalam logika sama sekali tidak ada hubungan dengan matematika
Matematika adalah cara/ metode berpikir dan bernalar. Matematika adalah cara berpikir yang digunakan untuk memecahkan semua jenis persoalan. Matematika bila ditinjau dari segi epistemology ilmu  bukanlah ilmu. Ia lebih merupakan artificial yang bersifat eksak, cermat dan terbebas dari rona emosi. Matematika adalah logika yang telah berkembang, yang memberikan sifat kuantitatif kepada pengetahuan keilmuan.Matematika merupakan sarana berfikir deduktif yang amat berguna untuk membangun teori keilmuan dan menurunkan prediksi-prediksi daripadanya, dan untuk mengkomunikasikan hasil-hasil kegiatan keilmuan dengan benar dan jelas dan secara singkat dan jelas. Matematika adalah bahasa  yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika mempunyai “artificial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya.
D. HAKEKAT MATEMATIKA
1. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif
Matematika dikenal dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan( induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk membantu pemikiran pada tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Perlu pula diketahui bahwa baik isi maupun metode mencarikebenaran dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, apalagi dengan ilmu pengetahuan umum. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh matematika adalah ilmu deduktif, sedangkan oleh ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif atau eksperimen. Namun dalam matematika mencari kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus bisa dibuktikan secara deduktif. Dalam matematika suatu generalisasi, sifat, teori atau dalil itu belum dapat diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif.Sebagai contoh, dalam ilmu biologi berdasarkan pada pengamatan, dari beberapa binatang menyusui ternyata selalu melahirkan. Sehingga kita bisa membuat generalisasi secara induktif bahwa setiap binatang menyusui adalah melahirkan.
Generalisasi yang dibenarkan dalam matematika adalah generalisasi yang telah dapat dibuktikan secara deduktif. Contoh: untuk pembuktian jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap. Pembuktian secara deduktif sebagai berikut: andaikan m dan n sembarang dua bilangan bulat maka 2m+ 1 dan 2n+1 tentunya masing-masing merupakan bilangan ganjil. Jika kita jumlahkan (2m+1) + (2n+1) = 2(m+n+1). Karena m dan n bilangan bulat maka  (m+n+1) bilangan bulat, sehingga 2(m+n+1) adalah bilangan genap. Jadi jumlah dua bilangan ganjil selalu genap.
2. Matematika bersifat terstruktur
Menurut Ruseffendi(Tim MKPBM,2001;25) matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal ini dimulai dari unsure-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian pada unsure yang didefinisikan, ke aksioma/postulat dan akhirnya pada teorema. Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur,logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Ibaratmembangun rumah, maka fondasi harus kokoh. Contohnya konsep bilangan genap. Bilangan genap adalah bilangan bulat yang habis dibagi dua. Sebelum membahas blangan genap, siswa harus memahami dulu konsep bilangan bulat dan pengertian habis dibagi dua sebagai konsep prasyarat.
Dari unsur-unsur yang tidak terdefinisi itu selanjutnya dapat dibentuk unsure-unsur matematika yang terdefinisi. Misalnya segitiga adalah lengkungan tertutup sederhana yang merupakan gabungan dari tiga buah segmen garis.
Dari  unsur-unsur yang tidak terdefinisi dan unsure-unsur yang terdefinisi dapat dibuat asumsi-asumsi yang dikenal dengan aksioma atau postulat. Misalnya:  melalui sebuah titik sembarang hanya dapat  dibuat sebuah garis kesuatu titik yang lain.
Tahap selanjutnya dari unsure-unsur yang tidak terdefiisi , unsure-unsur yang terdefinsi , dan aksioma atau postulat dapat disusun teorema-teorema yang kebenarannya harus dibuktikan secara deduktif dan berlaku umum. Misalnya: jumlah ukuran ketiga sudut dalam sebuah segitiga adalah 180 derajat.
3. Matematika sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu
Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain dan pada perkembangannya tidak tergantung pada ilmu lain. Dengan kata lain, banyak ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Sebagai contoh: banyak teori-teori dan cabang-cabang dari fisika dan kimia yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep kalkulus. Teori mendel pada Biologi melalui konsep pada probabilitas. Teori ekonomi melalui konsep fungsi dan sebagainya.
Dari kedudukan matematika sebagai ratu ilmu pengetahuan matemaika selain tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri juga untuk melayani kebutuhan ilmu pengetahuan lainnya dalam pengembangan dan operasinya. Cabang matematika yang memenuhi fungsinya seperti yang disebutkan terakhir itu dinamakan dengan matematika Terapan(Applied Mathematic)
4. Matematika sebagai bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanyalah merupakan kumpulan unsur-unsur yang mati.
Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu karena terkadang mempunyai lebih dari satu arti. Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling pada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk, danemosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang darimatematika dibuat secara ”artifisial” yakni baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan. Dan bersifat individual yaitu berlaku khusus untuk masalahyang sedang kita kaji.
5. Matematika bersifat kuantitatif
Dengan bahasa verbal kita bisa membandingkan dua objek yang berlainan umpamanya  gajah dan semut, maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar daripada semut, kalau ingin menelusuri lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut, maka kita mengalami kesulitan dalam mengemukakan hubungan itu, bila ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan dengan semut, maka dengan bahasa verbal tidak dapat mengatakan apa-apa.
Matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita mengetahui bahwa sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan berapa besar pertambahan panjang logamnya.
Untuk itu matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran , maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahannya bila dipanaskan, Dengan mengetahui hal ini maka pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, dpat diganti dengan pernyataan matematika yang lebih eksak umpamanya: P1 = Po (1 + n), dimana P1 adalah panjang logam pada temperatur t, Po merupakan panjang logam pada temperatur nol dan n merupakan koefisien pemuai logam tersebut.
E.  KARAKTERISTIK MATEMATIKA
  1. 1. Memiliki obyek yang abstrak
Obyek dasar matematika adalah abstrak dan disebut obyek mental, obyek pikiran yaitu :
a. Fakta
Berupa konvensi-konvensi yang di ungkap dengan simbol tertentu.
Contoh :
  1. ”2” dipahami sebagai bilangan ”doa”
  2. ”5-2” dipahami sebagai ”lima kurang dua”
  3. ”//” bermakna ”sejajar” dan lain-lain
b. Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan sejumlah obyek. Apakah obyek tertentu merupakan konsep atau bukan.
c. Operasi
- Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan pengerjaan matematika yang lain.
- Operasi adalah suatu relasi khusus karena operasi adalah aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui
-   Operasi unair, operasi biner dll
d. Prinsip
- Prinsip adalah obyek matemática yang komplek. Prinsip dapat terdiri dari beberapa fakta, beberapa konsep, yang dikaitkan oleh suatu relasi / operasi
- Prinsip adalah hubungan antara berbagai obyek dasar matemática. Prinsip dapat berupa axioma , teorema, sifat dll
- Skill adalah Prosegur atau suatu kumpulan aturan-aturan yang digunakan untuk menyelesaikan soal matemática
2. Bertumpu pada kesepakatan
Kesepakatan yang amat mendasar adalah axioma dan konsep primitif . Aksioma disebut juga postulat adalah pernyataan pangkal yang tidak perlu di buktikan . Konsep primitif disebut juga undefined term adalah pengertian pangkal yang tidak perlu di definisikan.
3. Berpola pikir deduktif
Kebenaran suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan Antar konsep atau pernyataan dalam matemática bersifat consisten. Proses pembuktian secara deduktif akan melibatkan teori atau rumus matemática lainnya yang sebelumnya sudad di buktikan kebenarannya secara deduktif juga.
4. Memiliki simbol yang kosong dari arti
Contoh : Model persamaan ”x+y=z” belum tentu bermakna bilangan, makna huruf atau tanda itu tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya model itu.
5. Memperhatikan semesta pembicaraan
Bila semesta pembicaraannya adalah bilangan maka simbol-simbol diarikan bilangan.
contohnya: jika kita bicara di ruang lingkup vektor a+vektor b =vektor c maka huruf-huruf yang digunakan bukan berarti bilangan tetapi harus di artikan sebagai vektor
6. Konsisten dalam sistemnya
Dalam matematika terdapat banyak sistem. Satu dengan yang lain bisa saling berkaitan tetapi juga bisa saling lepas. Sistem-sistem aljabar : sistem aksioma dari grup , sistem aksioma dari ring , sistem aksioma dari field, dsb. Sistem-sistem geometri : sistem geometri netral, sistem geometri Euclides , sistem geometri non Euclides . Di dalam masing-masing sistem dan struktur itu terdapat KONSISTENSI.
  1. F. PERBEDAAN MATEMATIKA DAN ILMU
Perbedaan matematika dan ilmu adalah:
-          Pembuktian pada matematika tidak di dapat dengan pembuktian empiris melainkan penalaran deduktif
-          Pembuktian  pada ilmu pengetahuan di dapat melalui pembuktian secara empiris.
G. HUBUNGAN ILMU DAN MATEMATIKA
Matematika sangat penting bagi keilmuan, terutama dalam peran yang dimainkannya dalam mengekspresikan model ilmiah. Mengamati dan mengumpulkan hasil-hasil pengukuran, sebagaimana membuat hipotesis dan dugaan, pasti membutuhkan model dan eksploitasi matematis. Cabang matematika yang sering dipakai dalam keilmuan di antaranya kalkulus dan statistika, meskipun sebenarnya semua cabang matematika mempunyai penerapannya, bahkan bidang “murni” seperti teori bilangan dan topologi. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti  pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalaran lebih jauh. Oleh karena maka dapat dikatakan bahwa ilmu tanpa matematika tidak berkembang.
Beberapa orang pemikir memandang matematikawan sebagai ilmuwan, dengan anggapan bahwa pembuktian-pembuktian matematis setara dengan percobaan. Sebagian yang lainnya tidak menganggap matematika sebagai ilmu, sebab tidak memerlukan uji-uji eksperimental pada teori dan hipotesisnya. Namun, dibalik kedua anggapan itu, kenyataan pentingnya matematika sebagai alat yang sangat berguna untuk menggambarkan/menjelaskan alam semesta telah menjadi isu utama bagi filsafat matematika
KESIMPULAN
  1. Matematika mengakibatkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.
  2. Fungsi matematika menjadi sangat penting dalam perkembangan berbagai ilmu pengetahuan
  3. Matematika merupakan ilmu deduktif.

Senin, 07 Mei 2012

Kaidah-kaidah Memahami Al-Qur`an

Adapun perkataan para sahabat Nabi, ulama Ahlussunnah berbeda pendapat mengenainya. Sebagian dari mereka seperti Ibnu Katsir menyampaikan secara ringkas -tanpa terperinci- keharusan merujuk pada perkataan para sahabat (tentunya) setelah al-Qur`an dan sunnah Nabi. Ia mengatakan: “Bila kita tidak menemukan pembicaraan dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi saw mengenai tafsir ayat, kita merujuk pada ucapan para sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui al-Qur`an, dengan alas an bahwa mereka menyaksikan qarinah-qarinah ayat dan memiliki pemahaman yang sempurna, pengetahuan yang benar dan pengamalan yang baik.”
Sebagian yang lain dengan terperinci mengatakan: “Jika perkataan para sahabat Nabi terkait sebab turunnya al-Qur`an atau masalah yang ijtihad mereka tidak mempunyai intervensi di dalamnya, tidak diperkenankan meninggalkan perkataan mereka dan merujuk pada yang lain. Sebab apa yang mereka katakan itu adalah dari mendengar (langsung) dari Nabi saw.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa jika pandangan para sahabat lahir dari ijtihad mereka, tidak harus menerimanya. Adz-Dzahabi dalam kitab “at-Tafsir wa al-Mufassirun” menyinggung dua pandangan di atas, sebagai berikut: “Sebagian berpendapat tidak harus menerima pandangan para sahabat. Karena menurut pendapat ini, mereka dalam ijtihad tak beda dengan ijitihad yang lain, yang bisa salah. Sebagian yang lain mengatakan: “Adalah harus menerima pandangan mereka. Sebab, pertama ada kemungkinan bahwa apa yang mereka katakan adalah dengan mendengar dari Rasulullah saw. Kedua, andaipun itu ijtihad dan pandangan pribadi mereka, mereka adalah pemilik bahasa al-Qur`an; memiliki keistimewaan sebagai sahabat Rasulullah saw; berprilaku akhlak beliau. Di masa turunnya ayat-ayat al-Qur`an, mereka menyaksikan qarinah-qarinahnya. Maka ijtihad mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, mengakui pandangan mereka adalah wajib.”(14)
Menurut ulama Syiah, perkataan para sahabat dan tabi’in tidak menjadi ukuran. Ucapan mereka diterima apabila menyingkap ucapan para ma’shumin (Nabi saw dan Ahlulbait as). Jika perkataan mereka tidak berujung pada seorang ma’shum, atau tidak mendekati keyakinan seperti “khabar wahid”, maka tidak memiliki peran yang menentukan dalam penafsiran. Mereka hanya memiliki nilai telaah historis. Poin lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa Nabi saw dan para imam suci as sebagai pengajar dan pemberi penjelasan, bukan dengan demikian pemahaman kita tentang al-Qur`an tidaklah berarti. Tetapi, penjelasan-penjelasan mereka terkadang memuat aspek penafsiran dan penjelasan makna lahir suatu ayat. Seperti riwayat-riwayat di atas, yang mengajarkan metode penafsiran dan mengantarkan seorang mufassir bagaimana mendapati makna secara lahir bagi suatu ayat, serta pelajaran metode memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an.
Akan tetapi penjelasan-penjelasan dari ma’shumin merupakan penjelasan kaitan-kaitan yang tidak dimiliki oleh ayat-ayat lainnya. Di antara penjelasan-penjelasan itu ialah berkaitan dengan ayat-ayat hukum atau penjelasan makna-makna yang tersirat bagi al-Qur`an, yang dalam hal ini harus memanfaatkan penjelasan-penjelasan mereka.
Alhasil, memahami apa yang tampak dari al-Qur`an berdasarkan kaidah-kaidah percakapan uqala`i, diakui dan tetaplah berarti sebagaimana kapasitasnya.
3-Memperhatikan keselarasan penafsiran ayat-ayat satu dengan yang lain;
Untuk memahami al-Qur`an, harus memperhatikan sekumpulan ayat dan keselarasan apa yang ditunjukkannya satu dengan yang lain. Jangan sampai penelitian ayat atau ayat-ayat al-Qur`an tanpa memperhatikan keselarasannya dengan ayat-ayat lainnya. Sebab, pertama al-Qur`an adalah satu kumpulan yang mengejar satu tujuan. Kedua, ayat-ayat itu terbagi pada yang muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, ‘am dank has, muthlaq dan muqayyad dan sebagainya. Oleh karena itu, di antara kesalahan yang fatal dalam menafsirkan dan memahami al-Qur`an adalah ayat ditafsirkan dengan berpaling dari ayat-ayat lainnya. Sebagai dampaknya, muncul bermacam-macam aliran dan keyakinan, yang berbeda dan kontradiksi satu dengan yang lain. Akibat pengabaian ini, Islam pun di sepanjang keberadaannya disalah pahami dan dianggap menyulitkan.
Sehubungan dengan ini, Syahid Shadr (semoga Allah merahmatinya) mengatakan: “Tafsir ayat dengan ayat terpisah dari keterkaitan konseptualnya dengan ayat-ayat lain, menyebabkan munculnya pelbagai kontradiksi teologis di sepanjang hidup Islam. Sebab, setiap mufassir berpegang pada ayat yang mendukung aliran pemikirannya terpisah dari ayat-ayat lainnya, dan memandang ayat itu sebagai dalil atas kebenaran keyakinannya. Alhasil, menyebabkan lahirnya mazhab-mazhab teologis seperti Jabariah, Mufawidhah dan Mujassimah.”
Kaidah ini terlontar sehubungan dengan semua ayat al-Qur`an; ayat-ayat yang berbicara tentang sunnatullah atau ayat-ayat hukum atau ayat-ayat historis dan lainnya. Pentingnya kaidah ini karena kedalaman dan kejeliannya terkait ayat-ayat pengetahuan berdasarkan pola kehidupan dan pengetahuan dalam kehidupan manusia berdasarkan keahliannya. Sebagai contoh, banyak ayat yang di dalamnya mensifati Allah dengan berilmu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, hidup, mutakallim dan sifat-sifat jamaliah lainnya. Juga sifat-sifat jalaliah yang mensucikan Allah swt.
Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali as berkata: “Siapa yang mensifati Allah ia telah membatasi-Nya dan siapa yang membatasinya ia telah menjadikan-Nya berbilang, dan siapa yang menjadikan-Nya berbilang ia telah melenyapkan kemaha dahuluan-Nya atas segala sesuatu.”
Jadi, semua ayat tentang sifat-sifat Allah swt harus ditafsirkan dalam rangka menetapkan semua sifat kesempurnaan bagi-Nya, dengan menjaga keterkaitan dan jauh dari segala kontradiksi seperti tarkîb dan hudûts (rangkaian dan kebaruan yang merupakan sifat makhluk). Misalnya ayat:
«قد احاط بكل شى‏ء علما»
“Dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS: ath-Thalaq 12)
Ayat ini mengisyaratkan pada ilmu yang mutlak bagi Allah. Sifat ilmu ini dikukuhkan dalam arti tidak termasuk dalam kebaruan dan tidak mengalami perubahan (sebagai ciri khas makhluk) pada zat Allah. Perkara penting ini memerlukan pengetahuan kajian teologis dan filosofis. Al-Alusi menyebutnya ilmu teologis, dan tentang pentingnya ilmu ini ia mengatakan: “Tidak memiliki ilmu ini, akan menjerumuskan seorang mufassir kepada kehancuran.”
4-Memperhatikan prinsip-prinsip menafsirkan al-Qur`an;
Ada beberapa masalah yang memiliki efek penilaian positif atau negatifnya, diterima atau ditolaknya masalah-masalah itu dalam penafsiran ayat-ayat. Seperti kemukjizatan al-Qur`an, sebagaimana adanya penjelasan-penjelasan al-Qur`an, komprehensifitas al-Qur`an dan keterjagaannya dari tahrif. Seorang mufassir harus mempelajari masalah-masalah itu dengan benar dan seksama. Ia dalam penafsirannya meletakkan dasar-dasar bagi masalah-masalah itu dan mempertimbangkan kesimpulan-kesimpulan interpretatifnya dengan masalah-masalah tersebut. Kesimpulan yang menafikan mukjizat al-Qur`an atau melazimkan tahrif al-Qur`an, jelas sekali merupakan kesimpulan yang salah.
Dalam pembahasan komprehensifitas al-Qur`an mengenai tolok ukur keluasan ruang lingkupnya, dan sebagaimana penjelasan-penjelasan al-Qur`an sesuai dengan kenyataan, memberi petunjuk kepada mufassir bagaimana menfasirkan ayat-ayat al-Qur`an. Misalnya, bagaimana menafsirkan ayat-ayat berkenaan dengan fenomena-fenomena alam ini dan kehidupan duniawi manusia, dan apa konsepsi-konsepsi yang dia peroleh dari ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah ilmiah.
5-Memperhatikan kaidah-kaidah ilmu ushul dan mantiq;
Telah disampaikan sebelumnya, ayat-ayat al-Qur`an satu dengan yang lain saling berkenaan. Dalam keseluruhan al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, zhahir, sharih dan sebagainya. Di dalamnya terdapat makna-makna yang sebagian merupakan manthuq (yang tersurat) dan sebagian merupakan mafhum (yang tersirat).
Dalam penerapan yang benar bagi ayat-ayat tersebut, kita harus mengetahui kekhususan tiap-tiap ayat; bagaimana kita menimbang ayat-ayat satu dengan lain dan menerapkan kaidah taqaddum dan ta`akhur (mendahulukan dan mengakhirkan) bagi tiap ayat dan jenis efek yang dimiliki satu ayat atas ayat yang lain. Masalah-masalah ini dibahas dalam ilmu usul pada bab yang terkait. Oleh karena itu, bagi seorang mufassir harus mengetahui kaidah-kaidah ini, untuk mencapai pemahaman akan ayat-ayat al-Qur`an. Ia pun harus mengetahui argumen-argumen rasional dan perdebatan-perdebatan teologis di sela ayat-ayat al-Qur`an, dan menguasai ilmu mantiq.
Kaidah keberlakuan dan kesesuaian dalam ayat-ayat, untuk mencapai kesimpulan memang harus memperhatikan sebab turunnya. Namun tidak berarti, apa yang ditunjukkan oleh ayat dan maknanya terbatas pada sebab turunnya ayat. Sebab, al-Qur`an selain merupakan kalam yang turun di masa tertentu, dalam kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa tertentu. Juga sebagaimana yang telah disampaikan, al-Qur`an memuat risalah universal dan untuk sepanjang masa. Oleh karena itu, makna-makna yang terkandung tidak terbatas pada masa turunnya. Tetapi juga mencakup segala ruang dan waktu. Sebab al-Qur`an laksana misal-misal, yang tak sebatas perkara yang ada di masa itu, tetapi berlaku pada semua ekstensi yang sama tolok ukurnya dengan perkara yang terkait dengan turunnya ayat.
Mengenai tersebut, Allamah Thabathaba`i mengatakan: “Jika ada riwayat-riwayat dalam perkara yang berkenaan dengan turunnya ayat, hendaknya kita tidak menilai ayat untuk khusus peristiwa terkait, yang kemudian ayat itu menjadi gugur setelah berlalunya kejadian dan masa penilaian itu. Sebab, penjelasan ayat adalah umum dan memutlakkan sebabnya. Jadi apabila ayat melontarkan pujian bagi beberapa orang mukmin dan celaan terhadap yang lain, pujian dan celaannya itu adalah untuk menjelaskan sifat-sifat yang mereka miliki. Penilaian ayat hendaklah tidak dipandang berlaku sebatas mereka (yang hidup di masa itu), tetapi berlaku bagi siapa saja menyandang sifat-sifat (terpuji dan tercela) itu.”
Kekhususan yang dimiliki ayat-ayat, yaitu potensi keberlakukan pelbagai ekstensi di manapun dan kapanpun, disebut dengan kaidah jary wa ithbaq. Istilah ini –sebagai yang disampaikan Allamah- diperoleh dari penjelasan-penjelasan para mas’humin. Dalam Tafsir ‘Ayasyi disebutkan riwayat dari Fudhail bin Sayar yang mengatakan: “Aku bertanya kepada Imam Baqir as tentang riwayat beliau “Tiada ayat dalam al-Qur`an melainkan memuat yang lahir dan batin.”
Beliau menjawab, “Yang lahir bagi al-Qur`an ialah penurunan al-Qur`an, sedangkan yang batin adalah penakwilannya. Sebagian takwil-takwilnya telah berlalu dan sebagian lainnya belum muncul. Bila ada sesuatu sebagai antara lain dari takwil-takwilnya, merupakan ekstensi bagi takwil-takwilnya.”
Dari situ menjadi jelas bahwa apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat merupakan tafsir bagi suatu ayat, dan menjadikan ayat itu berlaku bagi satu atau beberapa orang, menjadi bagian dari masalah jary wa ithbaq dan masuk dalam penjelasan ekstensinya. Bukan merupakan bagian dari masalah keterbatasan.
6-Kontradiksi Kaidah-kaidah;
Kontradiksi adalah keberlawanan dalil-dalil dan penafian satu sama lain. Dalam arti bahwa yang satu menunjukkan pengukuhan (itsbat) bagi suatu perkara, dan yang lain menunjukkan penafian baginya. Kemudian tidak memungkinkan untuk menggabungkan keduanya. Jadi apabila terdapat perbedaan (bertentangan) antara dalil-dalil yang memungkinkan untuk digabung, maka tidak dapat dikatakan kontradiksi. Misalnya, dalam tafsir ayat suci:
«اهدنا الصراط المستقیم‏»
Diterangkan bahwa yang dimaksud olehnya, adalah al-Qur`an, Islam, jalan ubudiyah dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw. Makna-makna ini tidak saling bertentangan. Sebab, Islam adalah jalan al-Qur`an. Keduanya merupakan ubudiyah, dan ketiga-tiganya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw. Menurut kaidah-kaidah ini, makna-makna tersebut saling berlawanan dan tidak keluar dari tiga asumsi: pertama, keduanya (antara dua makna yang berlainan) adalah bersifat meyakinkan (qath’i). Kedua, yang satu qath’i dan yang lain bersifat mendekati yakin (zhanni).
Asumsi pertama, kosong dari ekstensi luar. Yakni tidak akan terjadi dua dalil qath’i yang saling bertentangan. Sebab dua dalil qath’i yang kontradiktif, klaim masing-masing mengungkap realitas secara yakin. Padahal pada kenyataannya, hanya satu dari dua yang saling bertentangan itu bisa terwujud. Sebab, terwujudnya dua yang bertentangan itu melazimkan berkumpulnya dua kontrakdiksi, yang hal ini jelas batil. Jadi mustahil dua dalil yang kontradiksi secara pasti (qath’i). Bahkan yang pasti, satu yang kâdzib (tidak benar).
Pada asumsi kedua, dalil zhan akan tereliminasi, dan yang diambil adalah dalil qath’i. Pada asumsi ketiga, harus dilihat manakah yang lebih memberatkan (sebagaimana dijelaskan dalam ilmu usul). Setelah didapati dalil yang lebih memberatkan, maka hasilnya ialah hanya mengutamakan apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu condong pada madlûl (apa yang ditunjukkan oleh dalil).
Kaidah Universal bagi Penafsiran
Dalam hal memahami al-Qur`an, kita akan mengambil ayat yang mempunyai makna dan konsepsi yang jelas. Seperti ayat:
«اقیموا الصلاة و آتو الزكاة‏»
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat..” (QS: al-Baqarah 43)
Atau ayat:
«ولاتقربوا الزنا»
Dan janganlah kamu mendekati zina..” (QS: al-Isra 32)
Sebagaimana konsepsi ayat merupakan zhahir (tampak), tidak tegas (sharih). Jika dalil qath’i (‘aqli ataupun naqli) menunjukkan pada makna itu, maka harus diambil. Namun jika dalil qath’i bertentangan dengannya, maka zhahir ayat harus ditakwil.
Dalil zhanni (‘aqli ataupun naqli) –walau merupakan khabar sahih- sesuai dengan zhahir ayat, maka memberatkan makna yang zhahir. Tetapi bukan sebagai sebab bagi berpaling pada makna itu. (Dalam fikih berpegang pada khabar wahid merupakan keharusan dan wajib menerapkannya berdasarkan dalil ini, tetapi dalam tafsir tidak demikian).(15) Jika dalil zhanni bertentangan dengan zhahir ayat, maka dalil itu tidak diambil.
Adapun ayat-ayat mutasyabihat, harus bertolak pada ayat-ayat muhkamat dan ditafsir dengannya. Sebab mutasyabih suatu ayat tidak mandiri dalam mengantarkan madlûl ayat (apa yang ditunjukkan olehnya), dan akan menjadi jelas dengan jalan kembali pada yang muhkamat. Bukan tidak ada jalan untuk memahami madlûlnya.(16)
Penulis: Habibullah Zare'i