ONTOLOGI PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan membahas tentang filsafat pendidikan, yang titik
tekannya pada aspek ontologi, yang menjadi salah satu landasan filosofis
dalam memahami lebih jauh mengenai ruang lingkup pendidikan yang telah
akrab dengan umat manusia, sejak awal mula peradaban manusia sampai
dengan berakhirnya peradaban tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka bahasan tentang filsafat pendidikan,
tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui
filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa
dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase
awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam
(Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal
ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan
peradaban manusia.
Sekalipun demikian, mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan
tentang filsafat kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya,
tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf berbeda-beda tergantung dari
periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern yang mau
bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana
yang harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani kuno. Jika
kita beranggapan bahwa bagian paling berharga dari kontribusi Yunani
adalah ditemukannya akal budi sebagai sebuah instrumen baru, maka kita
dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno dan modern,
dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai
diuji dengan kritis.
Selanjutnya, secara garis besar, objek penyelidikan filsafat adalah
segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang
disebut objek material filsafat. Kalau demikian, apakah yang membedakan
antara objek filsafat dan objek ilmu pengetahuan lainnya? Objek filsafat
yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun
mempunyai objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang
ada dan yang mungkin ada. Ilmu pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk
menentukan objek penelitiannya, dan sampai saat ini, belum ada
pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek material). Oleh karena
itu, kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat maupun ilmu
pengetahuan, memiliki objek yang sama.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau
objek sesuatu ilmu pengetahuan, paling sedikit kita akan mempertanyakan 3
hal, pertama, apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis). Kedua,
bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan
epistemologis). Ketiga, apa manfaat gejala/objek itu (landasan
aksiologis).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada
causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam
keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini
berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai
keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa
air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala
sesuatu. Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda
di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak
pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila
mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal
tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri
sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada
pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality).
Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala
sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu
tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos
berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi
ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada
kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib
dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek
ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau
pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi.
Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat
sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.
Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is
the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang
wujud.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas
dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu
(being, sein, het zijn). Paham monoism yang terpecah menajdi idealism
atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan
keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada”
sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang
hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu
berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan
kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan tujuannya. Oleh sebab itu,
dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam
hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi, bagaimana halnya
dengan keberadaan manusia tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya pendidikan begitu sentral di
dalam eksistensi manusia di muka bumi ini. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa adanya pendidikan dapat memberikan pengetahuan yang cerah tentang
asal-mula manusia dan tujuan hidup manusia.
2. Objek dan Metode dalam Ontologi
2.1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan
menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya “De Anima”. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme,
tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi,
yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.
Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri
semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip
umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau
oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
3. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya
realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau
tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa
aliran dalam filsafat, antara lain:
1. Filsafat Materialisme.
2. Filsafat Idealisme.
3. Filsafat Dualisme.
4. Filsafat Skeptisisme.
5. Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok
permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi,
yakni (a) logika (Benar-Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika
(Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut Suriasumantri,
kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang
hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan
pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai
organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik.
Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan
politik – menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi
cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi
yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM)
dengan teori idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata
ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi
atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor
kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna
hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea
kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk
seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”?
yang demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat
juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan
jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara
kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin
memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi
ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran,
ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi sebagai
cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu?
apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam
persoalan keberadaan, yaitu:
A. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a) Monoisme
b) Dualisme.
c) Pluralisme.
B. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
a) Spiritualisme.
b) Materialisme.
C. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a) Mekanisme.
b) Teleologi.
c) Vitalisme.
d) Organisisme.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan
dengan cabang filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata
Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik
atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai istilah
metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat
pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang
gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.
4. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum
juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang
sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan
lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial
dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan,
bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena
dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar
tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam
menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan
individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.
Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan
tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam
diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif
maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat
perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik
harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga
mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan
bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada
dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten
menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut
berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak,
maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik,
tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan
pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka
dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap
maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek
atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai
subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan
masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan
pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa
hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya
dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari
Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik
mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang
mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang
tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan
normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut
ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah.
Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping
pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi
manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
5. Pendidikan dan Kaitannya Dengan Aspek-Aspek Lain
5.1. Pendidikan dan Manusia
Manusia, siapa pun, sebagai apa pun, di mana dan kapan pun berada,
berhak atas pendidikan. Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia
dalam perwujudannya sebagai individu yang yang menjadi bagian Integral
dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu
untuk diproses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia
dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan
bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan
kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan
hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal itu, pendidikan secara
khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi kodrat
(bawaan) yang ada dalam diri manusia.
5.2. Pendidikan dan Filsafat
Filsafat secara etimologis berarti ‘cinta kearifan’. Mencintai kearifan
berarti mendambakan kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku
adil. Kehidupan yang berkeadilan adalah kehidupan yang harmonis dan
penuh dengan kebahagiaan. Kehidupan demikian adalah kehidupan dinamis;
kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan ke arah masa depan
yang lebih baik.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebut, pendidikan muncul dan memulai
sesuatu. Manusia mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan
sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi
kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi
yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal-mula,
eksistensi dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan
kehidupan adalah landasan dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga
semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju
satu titik tujuan akhir.
5.3. Pendidikan dan Sejarah
Ada satu lagi persoalan khas manusia, yakni sejarah. Maksudnya, sejarah
adalah suatu rentetan kejadian yang berlangsung di dalam kehidupan
masyarakat manusia. Rentetan kejadian tersebut tidak terjadi secara
kebetulan, namun berlangsung dalam kesengajaan. Ciri khas objek sejarah
adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju perkembangan
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, sejarah bisa dikatakan
sebagai suatu sistem rentetan kejadian yang bersumber dari kesadaran,
dengan objek khusus yaitu kesadaran tentang perlunya perubahan-perubahan
demi perkembangan dan kemajuan bagi kehidupan masyarakat manusia.
Untuk itu, berdasarkan sejarahnya, manusia selalu mengubah dan
mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah
mengideakan masa mendatang yang lebih baik dan maju. Sementara itu,
pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan mengembangkan sistem
pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan yang relevan
dengan kehidupan yang diideakan sejarah itu.
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di atas, maka pada akhir
makalah ini kami akan menyimpulkan segala macam-ragam pandangan dan
tulisan yang telah kami rangkai tersebut. Adapun kesimpulannya adalah
sebagai berikut.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan,
maka penting rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya. Pembahasan
pendidikan selalu terkait dengan hakikat keberadaan manusia. Dari
pembahasan panjang lebar itu, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa
manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya, tanpa
pendidikan, mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan
mengembangkan kehidupannya. Jadi, ontologi pendidikan sepenuhnya mutlak
berakar dari dalam diri dan keberadaan manusia.
Dari pembahasan tentang pendidikan secara ontologis, dapat diperoleh
pengetahuan tentang bagaimana menata hubungan pendidikan dengan
asal-mula dan tujuan kehidupan, serta hubungan pendidikan dengan
filsafat, sejarah, dan iptek dalam eksistensi kehidupan.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka
diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik
untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan
di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin
berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang
berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan
manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak
akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan
manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa
dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak
ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur
ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam
gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang
indah sekaligus menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hawton, Hector, Filsafat yang Menghibur, Terj. Supriyanto Abdullah, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Suprihatiningrum, Jamil dkk., Makalah Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Ilmu, Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta, 2008.