Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 September 2013

Contoh Lamaran Pekerjaan Guru Honorer


Palabuhanratu, 30 Juli 2012
Kepada Yth.:
Kepala SMP PGRI Palabuhanratu
Jln: Badak Putih Palabuhanratu
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini  :  
N a m a                             : NURAINI HASANAH
Tempat dan tanggal lahir  : Sukabumi,13 Oktober 1990
A l a m a t                            : Citepus Hili Rt.02/06 Desa Citepus Ke.Palabuhanratu
Pendidikan terakhir              : Madrasah Aliyah / STAI Palabuhanratu Semester VI
Dengan ini bermaksud mengajukan lamaran  sebagai guru sukwan pada SMP PGRI Palabuhanratu, sebagai bahan pertimbangan bersama surat ini saya lampirkan:
* Foto copy ijazah/keterangan Kuliah
* Daftar riwayat hidup
* Foto copy KTP
* Pas foto terbaru ukuran 3x4 sebanyak 2 lembar
Besar harapan saya untuk bisa bergabung di SMP PGRI Palabuhanratu sebagai guru Sukwan ,atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapakan terima kasih
Hormat saya,
NURAINI HASANAH
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
Nama                                                   
Jenis kelamin
Tempat, tanggal lahir
Kewarganegaraan
Status perkawinan
Tinggi, berat badan
Kesehatan
Agama
Alamat lengkap
Telepon, HP
E-mail
Nuraini Hasanah
Perempuan
Sukabumi,13 Oktober 1990
Indonesia
Belum Menikah
140 cm,40 kg
Sangat Baik
Islam
Kp.Babakan Pesantren Rt02Rw06 Desa.Citepus
081287963995
cahayamatakebaikan@ymail.com
Pendidikan
» Formal

1997 - 2002
2002 - 2005
2006 - 2009
2009 - sekarang
MI MIFA Citepus, Pelabuhanratu
:MTS YASFA Citepus , Pelabuhanratu
: ALIYAH MIFA Citepus, Pelabuhanratu
:STAI Palabhanratu Semester VI
Pengalaman Kerja
Bekerja di Paud Mifa selama 2 tahun
                                                                                                              Pelabuhanratu, 16 Juli 2012



                                                                                                              Nuraini Hasanah

Senin, 07 Januari 2013

ONTOLOGI PENDIDIKAN

ONTOLOGI PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan membahas tentang filsafat pendidikan, yang titik tekannya pada aspek ontologi, yang menjadi salah satu landasan filosofis dalam memahami lebih jauh mengenai ruang lingkup pendidikan yang telah akrab dengan umat manusia, sejak awal mula peradaban manusia sampai dengan berakhirnya peradaban tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka bahasan tentang filsafat pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia.
Sekalipun demikian, mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan tentang filsafat kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya, tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf berbeda-beda tergantung dari periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern yang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani kuno. Jika kita beranggapan bahwa bagian paling berharga dari kontribusi Yunani adalah ditemukannya akal budi sebagai sebuah instrumen baru, maka kita dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno dan modern, dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai diuji dengan kritis.
Selanjutnya, secara garis besar, objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang disebut objek material filsafat. Kalau demikian, apakah yang membedakan antara objek filsafat dan objek ilmu pengetahuan lainnya? Objek filsafat yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun mempunyai objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk menentukan objek penelitiannya, dan sampai saat ini, belum ada pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek material). Oleh karena itu, kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, memiliki objek yang sama.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu pengetahuan, paling sedikit kita akan mempertanyakan 3 hal, pertama, apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis). Kedua, bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis). Ketiga, apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monoism yang terpecah menajdi idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan tujuannya. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi, bagaimana halnya dengan keberadaan manusia tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya pendidikan begitu sentral di dalam eksistensi manusia di muka bumi ini. Sehingga dapat diasumsikan bahwa adanya pendidikan dapat memberikan pengetahuan yang cerah tentang asal-mula manusia dan tujuan hidup manusia.
2. Objek dan Metode dalam Ontologi
2.1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya “De Anima”. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
3. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain:
1. Filsafat Materialisme.
2. Filsafat Idealisme.
3. Filsafat Dualisme.
4. Filsafat Skeptisisme.
5. Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan politik – menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:
A. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a) Monoisme
b) Dualisme.
c) Pluralisme.
B. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
a) Spiritualisme.
b) Materialisme.
C. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a) Mekanisme.
b) Teleologi.
c) Vitalisme.
d) Organisisme.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.
4. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
5. Pendidikan dan Kaitannya Dengan Aspek-Aspek Lain
5.1. Pendidikan dan Manusia
Manusia, siapa pun, sebagai apa pun, di mana dan kapan pun berada, berhak atas pendidikan. Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya sebagai individu yang yang menjadi bagian Integral dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu untuk diproses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
5.2. Pendidikan dan Filsafat
Filsafat secara etimologis berarti ‘cinta kearifan’. Mencintai kearifan berarti mendambakan kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku adil. Kehidupan yang berkeadilan adalah kehidupan yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan. Kehidupan demikian adalah kehidupan dinamis; kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan ke arah masa depan yang lebih baik.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebut, pendidikan muncul dan memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal-mula, eksistensi dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan kehidupan adalah landasan dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.
5.3. Pendidikan dan Sejarah
Ada satu lagi persoalan khas manusia, yakni sejarah. Maksudnya, sejarah adalah suatu rentetan kejadian yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat manusia. Rentetan kejadian tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun berlangsung dalam kesengajaan. Ciri khas objek sejarah adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju perkembangan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, sejarah bisa dikatakan sebagai suatu sistem rentetan kejadian yang bersumber dari kesadaran, dengan objek khusus yaitu kesadaran tentang perlunya perubahan-perubahan demi perkembangan dan kemajuan bagi kehidupan masyarakat manusia.
Untuk itu, berdasarkan sejarahnya, manusia selalu mengubah dan mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah mengideakan masa mendatang yang lebih baik dan maju. Sementara itu, pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan mengembangkan sistem pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan yang relevan dengan kehidupan yang diideakan sejarah itu.
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di atas, maka pada akhir makalah ini kami akan menyimpulkan segala macam-ragam pandangan dan tulisan yang telah kami rangkai tersebut. Adapun kesimpulannya adalah sebagai berikut.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya. Pembahasan pendidikan selalu terkait dengan hakikat keberadaan manusia. Dari pembahasan panjang lebar itu, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya, tanpa pendidikan, mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan kehidupannya. Jadi, ontologi pendidikan sepenuhnya mutlak berakar dari dalam diri dan keberadaan manusia.
Dari pembahasan tentang pendidikan secara ontologis, dapat diperoleh pengetahuan tentang bagaimana menata hubungan pendidikan dengan asal-mula dan tujuan kehidupan, serta hubungan pendidikan dengan filsafat, sejarah, dan iptek dalam eksistensi kehidupan.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hawton, Hector, Filsafat yang Menghibur, Terj. Supriyanto Abdullah, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Suprihatiningrum, Jamil dkk., Makalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu, Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2008.

Pengertian Al-qur'an



AL-QUR’AN


I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.
II. POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Turunnya Al-Qur’an
2. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
3. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Dan Turunnya Al-Qur’an
a. Pengertian al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1)Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (al-Qiyamah: 17-18)
2)Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kalamullah.
2. Dengan perantara malaikat Jibril.
3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Sebagai mu’jizat.
5. Ditulis dalam mushaf.
6. Dinukil secara mutawatir.
7. Dianggap ibadah orang yang membacanya.
8. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas.
9. Sebagai ilmu laduni global
10. Mencakup segala hakikat kebenaran.
b. Turunnya al-Qur’an
Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar. Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
· Turunnya Al-Qur’an Sekaligus
Allah SWT berfirman:
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
!$¯RÎ) çoYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (Al Quran) pada malam kemuliaan (malam lailatul qodr). (QS. al-Qodr: 1)


Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkan nya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. ad-Dukhan: 3).
Ketiga ayat diatas itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qodr dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasul, dimana turun kepadanya selama kurang lebih 23 tahun .
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk dan rahmat untuk dijadikan sebagai pedoman hidup, petunjuk dan rahmat.
2. PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM DAN ALQUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
A. Penjelasan al-Qur’an Terhadap Hukum
Contoh Ayat-ayat yang menjelaskan hukum diantaranya:
. Uraian al-Qur’an tentang puasa ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena ulama al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 sya’ban tahun kedua hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan shalat:
1. firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).
B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah:

Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:


Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, seperti surat an-Nahl: 89, Ibrahim:1 dan Shad: 1
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).
Artinya: Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al- Purqan:1).
3. SISTEMATIKA HUKUM DALAM AL-QUR’AN
Sebagai sumber hukum yang utama, maka al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar al-qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat atau adat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.
IV. KESIMPULAN
1. Pengertian dan Turunnya Al-Qur’an
1. Pengertian al-qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1) Aspek Etimologis, pengertian al-qur’an ditinjau dari aspek etimologis (bahasa) adalah bacaan.
2) Aspek Terminologi, pengertian al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kalamullah.
2. Dengan perantara malaikat Jibril.
3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Sebagai mu’jizat.
5. Ditulis dalam mushaf.
6. Dinukil secara mutawatir.
7. Dianggap ibadah orang yang membacanya.
8. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas
9. Sebagai ilmu laduni global
10. Mencakup segala hakikat kebenaran.
2. Turunnya Al-Qur’an
Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
2. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.
A. Penjelasan al-qur’an terhadap hukum, contoh ayat yang menjelaskan tentang wajibnya berpuasa di bulan ramadhan bagi orang-orang yang beriman (dalam surat al-baqarah: 183) dan diwajibkannya shalat bagi orang-orang mukalaf (dalam surat an-nisa: 103).
B. Al-qur’an sebagai sumber hukum, dijelaskan dalam surat al-maidah:44 dan al-Ahjab: 36.
3. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1) Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2) Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3) Hukum-hukum Amaliyah
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
Efendi, Nur Ma’mun, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
Hamzah, Muchotob, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.
Khaliil Al-Qattaan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.
Mustofa, Misbah, Shalat dan Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67.
Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
Shihab, M. Qurais, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007
Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
Muhammad Al-Khudori
Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.
Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.
M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007
Misbah Mustofa, Shalat dan Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67
H. Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
Ibid, hlm. 23-24
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.