Senin, 07 Januari 2013

ONTOLOGI PENDIDIKAN

ONTOLOGI PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan membahas tentang filsafat pendidikan, yang titik tekannya pada aspek ontologi, yang menjadi salah satu landasan filosofis dalam memahami lebih jauh mengenai ruang lingkup pendidikan yang telah akrab dengan umat manusia, sejak awal mula peradaban manusia sampai dengan berakhirnya peradaban tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka bahasan tentang filsafat pendidikan, tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam (Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan peradaban manusia.
Sekalipun demikian, mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan tentang filsafat kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya, tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf berbeda-beda tergantung dari periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern yang mau bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana yang harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani kuno. Jika kita beranggapan bahwa bagian paling berharga dari kontribusi Yunani adalah ditemukannya akal budi sebagai sebuah instrumen baru, maka kita dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno dan modern, dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai diuji dengan kritis.
Selanjutnya, secara garis besar, objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang disebut objek material filsafat. Kalau demikian, apakah yang membedakan antara objek filsafat dan objek ilmu pengetahuan lainnya? Objek filsafat yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun mempunyai objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk menentukan objek penelitiannya, dan sampai saat ini, belum ada pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek material). Oleh karena itu, kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, memiliki objek yang sama.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau objek sesuatu ilmu pengetahuan, paling sedikit kita akan mempertanyakan 3 hal, pertama, apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis). Kedua, bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan epistemologis). Ketiga, apa manfaat gejala/objek itu (landasan aksiologis).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monoism yang terpecah menajdi idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan tujuannya. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi, bagaimana halnya dengan keberadaan manusia tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya pendidikan begitu sentral di dalam eksistensi manusia di muka bumi ini. Sehingga dapat diasumsikan bahwa adanya pendidikan dapat memberikan pengetahuan yang cerah tentang asal-mula manusia dan tujuan hidup manusia.
2. Objek dan Metode dalam Ontologi
2.1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya “De Anima”. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
3. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain:
1. Filsafat Materialisme.
2. Filsafat Idealisme.
3. Filsafat Dualisme.
4. Filsafat Skeptisisme.
5. Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan politik – menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:
A. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a) Monoisme
b) Dualisme.
c) Pluralisme.
B. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
a) Spiritualisme.
b) Materialisme.
C. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a) Mekanisme.
b) Teleologi.
c) Vitalisme.
d) Organisisme.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan cabang filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.
4. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
5. Pendidikan dan Kaitannya Dengan Aspek-Aspek Lain
5.1. Pendidikan dan Manusia
Manusia, siapa pun, sebagai apa pun, di mana dan kapan pun berada, berhak atas pendidikan. Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia dalam perwujudannya sebagai individu yang yang menjadi bagian Integral dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu untuk diproses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
5.2. Pendidikan dan Filsafat
Filsafat secara etimologis berarti ‘cinta kearifan’. Mencintai kearifan berarti mendambakan kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku adil. Kehidupan yang berkeadilan adalah kehidupan yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan. Kehidupan demikian adalah kehidupan dinamis; kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan ke arah masa depan yang lebih baik.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebut, pendidikan muncul dan memulai sesuatu. Manusia mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal-mula, eksistensi dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan kehidupan adalah landasan dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju satu titik tujuan akhir.
5.3. Pendidikan dan Sejarah
Ada satu lagi persoalan khas manusia, yakni sejarah. Maksudnya, sejarah adalah suatu rentetan kejadian yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat manusia. Rentetan kejadian tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun berlangsung dalam kesengajaan. Ciri khas objek sejarah adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju perkembangan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, sejarah bisa dikatakan sebagai suatu sistem rentetan kejadian yang bersumber dari kesadaran, dengan objek khusus yaitu kesadaran tentang perlunya perubahan-perubahan demi perkembangan dan kemajuan bagi kehidupan masyarakat manusia.
Untuk itu, berdasarkan sejarahnya, manusia selalu mengubah dan mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah mengideakan masa mendatang yang lebih baik dan maju. Sementara itu, pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan mengembangkan sistem pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan yang relevan dengan kehidupan yang diideakan sejarah itu.
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di atas, maka pada akhir makalah ini kami akan menyimpulkan segala macam-ragam pandangan dan tulisan yang telah kami rangkai tersebut. Adapun kesimpulannya adalah sebagai berikut.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan, maka penting rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya. Pembahasan pendidikan selalu terkait dengan hakikat keberadaan manusia. Dari pembahasan panjang lebar itu, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya, tanpa pendidikan, mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan kehidupannya. Jadi, ontologi pendidikan sepenuhnya mutlak berakar dari dalam diri dan keberadaan manusia.
Dari pembahasan tentang pendidikan secara ontologis, dapat diperoleh pengetahuan tentang bagaimana menata hubungan pendidikan dengan asal-mula dan tujuan kehidupan, serta hubungan pendidikan dengan filsafat, sejarah, dan iptek dalam eksistensi kehidupan.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hawton, Hector, Filsafat yang Menghibur, Terj. Supriyanto Abdullah, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Suprihatiningrum, Jamil dkk., Makalah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu, Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar