ONTOLOGI PENDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan membahas tentang filsafat pendidikan, yang titik
tekannya pada aspek ontologi, yang menjadi salah satu landasan filosofis
dalam memahami lebih jauh mengenai ruang lingkup pendidikan yang telah
akrab dengan umat manusia, sejak awal mula peradaban manusia sampai
dengan berakhirnya peradaban tersebut.
Terkait dengan hal di atas, maka bahasan tentang filsafat pendidikan,
tidak bisa kita pisahkan dengan sejarah filsafat. Seperti kita ketahui
filsafat mempunyai andil yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, segala ilmu pengetahuan lahir dari rahim filsafat. Bisa
dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan. Pada fase
awalnya filsafat hanya melahirkan dua ilmu pengetahuan, yakni ilmu alam
(Natural Philosophy) dan ilmu sosial (Moral Philosophy) maka dewasa ini
terdapat lebih dari 650 cabang keilmuan (Suriasumantri, 2005:92). Hal
ini, menurut Ibnu Khaldun disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan dan
peradaban manusia.
Sekalipun demikian, mustahil untuk memberikan definisi yang memuaskan
tentang filsafat kecuali jika ditetapkan waktu untuknya. Alasannya,
tugas-tugas yang dipikul oleh para filsuf berbeda-beda tergantung dari
periode perkembangan sejarahnya. Tidak ada filsuf modern yang mau
bersusah payah untuk berhadapan dengan persoalan-persoalan sebagaimana
yang harus dilakukan oleh rekan-rekannya pada zaman Yunani kuno. Jika
kita beranggapan bahwa bagian paling berharga dari kontribusi Yunani
adalah ditemukannya akal budi sebagai sebuah instrumen baru, maka kita
dapat melakukan pembagian yang mudah terhadap filsafat kuno dan modern,
dengan garis batas yang akan muncul ketika instrumen itu sendiri mulai
diuji dengan kritis.
Selanjutnya, secara garis besar, objek penyelidikan filsafat adalah
segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang
disebut objek material filsafat. Kalau demikian, apakah yang membedakan
antara objek filsafat dan objek ilmu pengetahuan lainnya? Objek filsafat
yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun
mempunyai objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang
ada dan yang mungkin ada. Ilmu pengetahuan bebas dan tidak terikat untuk
menentukan objek penelitiannya, dan sampai saat ini, belum ada
pembatasan dalam objek ilmu pengetahuan (objek material). Oleh karena
itu, kalau dilihat dari objek materialnya, baik filsafat maupun ilmu
pengetahuan, memiliki objek yang sama.
Menurut Suriasumantri (2005:35), Setiap pembahasan tentang gejala atau
objek sesuatu ilmu pengetahuan, paling sedikit kita akan mempertanyakan 3
hal, pertama, apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologis). Kedua,
bagaimana cara mendapatkan atau penggarapan gejala/objek itu (landasan
epistemologis). Ketiga, apa manfaat gejala/objek itu (landasan
aksiologis).
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ontologi
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada
causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam
keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini
berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai
keindahan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa
air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala
sesuatu. Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda
di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak
pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila
mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal
tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri
sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada
pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality).
Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala
sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu
tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos
berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi
ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat
keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis
berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada
kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib
dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek
ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau
pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi.
Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat
sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.
Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is
the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang
wujud.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas
dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu
(being, sein, het zijn). Paham monoism yang terpecah menajdi idealism
atau spiritualisme, paham dualism, pluralism dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan
keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada”
sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontologi, berarti persoalan tentang
hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu
berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan
kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan tujuannya. Oleh sebab itu,
dapat dipahami bahwa ontologi pendidikan berarti pendidikan dalam
hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia.
Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada. Tetapi, bagaimana halnya
dengan keberadaan manusia tanpa pendidikan? Mungkinkah itu?
Dengan demikian, jelaslah bahwa adanya pendidikan begitu sentral di
dalam eksistensi manusia di muka bumi ini. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa adanya pendidikan dapat memberikan pengetahuan yang cerah tentang
asal-mula manusia dan tujuan hidup manusia.
2. Objek dan Metode dalam Ontologi
2.1. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan
kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan
menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi
tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik
akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya “De Anima”. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme,
tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi,
yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik.
Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri
semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip
umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau
oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
3. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya
realitas benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau
tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa
aliran dalam filsafat, antara lain:
1. Filsafat Materialisme.
2. Filsafat Idealisme.
3. Filsafat Dualisme.
4. Filsafat Skeptisisme.
5. Filsafat Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok
permasalahan yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi,
yakni (a) logika (Benar-Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika
(Indah-Jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini lanjut Suriasumantri,
kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang
hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan
pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai
organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik.
Kelima cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan
politik – menurut Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi
cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi
yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM)
dengan teori idea-nya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata
ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi
atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor
kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna
hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea
kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk
seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”?
yang demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat
juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan
jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara
kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin
memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi
ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran,
ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya). Ontologi sebagai
cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu?
apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam
persoalan keberadaan, yaitu:
A. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a) Monoisme
b) Dualisme.
c) Pluralisme.
B. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
a) Spiritualisme.
b) Materialisme.
C. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a) Mekanisme.
b) Teleologi.
c) Vitalisme.
d) Organisisme.
Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan
dengan cabang filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata
Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik
atau di belakang benda fisik. Aristoteles tidak memakai istilah
metafisika melainkan proto philosophia (filsafat pertama). Filsafat
pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang
gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.
4. Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)
Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum
juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang
sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari
berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan
lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang spesial
dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي
أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata:
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan,
bahwa dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena
dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar
tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam
menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan
individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.
Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan
tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam
diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif, kognitif
maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat
perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik
harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga
mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan
bahagia baik di dunia dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada
dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya
masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten
menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut
berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak,
maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik,
tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan
pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka
dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap
maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek
atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai
subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan
masalah dalam proses belajar mengajar.
Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan
pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa
hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya
dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari
Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik
mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang
mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang
tidak disukai Allah. Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan
normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut
ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah.
Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping
pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi
manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.
5. Pendidikan dan Kaitannya Dengan Aspek-Aspek Lain
5.1. Pendidikan dan Manusia
Manusia, siapa pun, sebagai apa pun, di mana dan kapan pun berada,
berhak atas pendidikan. Manusia sebagai objek pendidikan adalah manusia
dalam perwujudannya sebagai individu yang yang menjadi bagian Integral
dari masyarakatnya. Dua sisi perwujudan ini dipandang penting dan perlu
untuk diproses dalam sistem pendidikan, agar dikemudian hari manusia
dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia. Berulang kali dinyatakan
bahwa tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan
kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan
hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal itu, pendidikan secara
khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi kodrat
(bawaan) yang ada dalam diri manusia.
5.2. Pendidikan dan Filsafat
Filsafat secara etimologis berarti ‘cinta kearifan’. Mencintai kearifan
berarti mendambakan kehidupan yang diliputi dengan sikap dan perilaku
adil. Kehidupan yang berkeadilan adalah kehidupan yang harmonis dan
penuh dengan kebahagiaan. Kehidupan demikian adalah kehidupan dinamis;
kehidupan kreatif untuk pertumbuhan dan perkembangan ke arah masa depan
yang lebih baik.
Bertolak dari pemikiran filsafat tersebut, pendidikan muncul dan memulai
sesuatu. Manusia mulai mencoba untuk mendidik diri sendiri dan
sesamanya, dengan sasaran menumbuhkan kesadaran terhadap eksistensi
kehidupan ini. Dalam hal ini, kegiatan pendidikan ditekankan pada materi
yang berisi tentang pengetahuan umum berupa wawasan asal-mula,
eksistensi dan tujuan kehidupan. Kesadaran terhadap asal-mula dan tujuan
kehidupan adalah landasan dasar bagi perilaku sehari-hari, sehingga
semua kegiatan eksistensi kehidupan ini selalu bergerak teratur menuju
satu titik tujuan akhir.
5.3. Pendidikan dan Sejarah
Ada satu lagi persoalan khas manusia, yakni sejarah. Maksudnya, sejarah
adalah suatu rentetan kejadian yang berlangsung di dalam kehidupan
masyarakat manusia. Rentetan kejadian tersebut tidak terjadi secara
kebetulan, namun berlangsung dalam kesengajaan. Ciri khas objek sejarah
adalah rentetan kejadian yang selalu bergerak menuju perkembangan
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, sejarah bisa dikatakan
sebagai suatu sistem rentetan kejadian yang bersumber dari kesadaran,
dengan objek khusus yaitu kesadaran tentang perlunya perubahan-perubahan
demi perkembangan dan kemajuan bagi kehidupan masyarakat manusia.
Untuk itu, berdasarkan sejarahnya, manusia selalu mengubah dan
mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah
mengideakan masa mendatang yang lebih baik dan maju. Sementara itu,
pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan mengembangkan sistem
pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan yang relevan
dengan kehidupan yang diideakan sejarah itu.
C. KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah kami paparkan di atas, maka pada akhir
makalah ini kami akan menyimpulkan segala macam-ragam pandangan dan
tulisan yang telah kami rangkai tersebut. Adapun kesimpulannya adalah
sebagai berikut.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk upaya untuk melakukan perubahan,
maka penting rasanya untuk memahami ontologi pendidikannya. Pembahasan
pendidikan selalu terkait dengan hakikat keberadaan manusia. Dari
pembahasan panjang lebar itu, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tanpa
manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothingness), sebaliknya, tanpa
pendidikan, mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan
mengembangkan kehidupannya. Jadi, ontologi pendidikan sepenuhnya mutlak
berakar dari dalam diri dan keberadaan manusia.
Dari pembahasan tentang pendidikan secara ontologis, dapat diperoleh
pengetahuan tentang bagaimana menata hubungan pendidikan dengan
asal-mula dan tujuan kehidupan, serta hubungan pendidikan dengan
filsafat, sejarah, dan iptek dalam eksistensi kehidupan.
Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka
diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik
untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan
di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin
berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang
berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan
manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak
akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan
manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa
dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak
ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur
ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam
gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang
indah sekaligus menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
Hawton, Hector, Filsafat yang Menghibur, Terj. Supriyanto Abdullah, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Suprihatiningrum, Jamil dkk., Makalah Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Ilmu, Prodi Pendidikan Sains Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta, 2008.
Lihatlah apa-apa yang bermanfaat bagimu, bacalah beberapa hal yang tertera di dalam blog ini.
Senin, 07 Januari 2013
Pengertian Al-qur'an
AL-QUR’AN
I. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir
yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk
dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat
menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman,
al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik
informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti
tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang
diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan
menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih
tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan
kehidupan modern.
II. POKOK PEMBAHASAN
1.
Pengertian
dan Turunnya Al-Qur’an
2. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
3.
Sistematika
Hukum Dalam Al-Qur’an
III. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Dan Turunnya Al-Qur’an
a. Pengertian al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua
aspek, sebagai berikut:
1)Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim
dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi
makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti
bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Sesungguhnya atas
tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai
membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut”
(al-Qiyamah: 17-18)
2)Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata
al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya
mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena
selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari
memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa
Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil
secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab
adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu
untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat,
Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah
yang wajib di imani oleh setiap muslim.
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan
Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat,
diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir
dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa
al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat
diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat
mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dari beberapa definisi dan uraian
diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara
terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kalamullah.
2. Dengan perantara malaikat Jibril.
3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Sebagai mu’jizat.
5. Ditulis dalam mushaf.
6. Dinukil secara mutawatir.
7. Dianggap ibadah orang yang
membacanya.
8. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan
ditutup dengan surah An-Nas.
9. Sebagai ilmu laduni global
b. Turunnya al-Qur’an
Allah menurunkan al-Qur’an kepada
Rasulullah saw untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an
merupakan peristiwa besar. Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul
qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh
Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali
secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun
secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta
mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini
dan mencukupkan nikmatnya.
· Turunnya Al-Qur’an Sekaligus
Allah SWT berfirman:
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil).
(QS. Al-Baqarah: 185)
!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah
menurunkan nya (Al Quran) pada malam kemuliaan (malam lailatul qodr).
(QS. al-Qodr: 1)
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkan nya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan. (QS. ad-Dukhan: 3).
Ketiga ayat diatas
itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul
qodr dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan
dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasul, dimana turun kepadanya selama
kurang lebih 23 tahun .
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah
kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk dan rahmat untuk
dijadikan sebagai pedoman hidup, petunjuk dan rahmat.
2. PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
DAN ALQUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
A.
Penjelasan al-Qur’an Terhadap Hukum
Contoh Ayat-ayat yang menjelaskan
hukum diantaranya:
. Uraian al-Qur’an tentang puasa
ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti
bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena
ulama al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan
menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT
pada 10 sya’ban tahun kedua hijriyah.
Allah swt berfirman:
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Ayat
ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang
beriman.
Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan persoalan shalat:
1. firman Allah SWT
Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).
Artinya: sesungguhnya aku ini
adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).
Artinya:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45).
B.
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al-qur’an adalah sumber hukum yang
utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah:
Artinya:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada
kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan
sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang
tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah
dan rasul-Nya.
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang
menjelaskan tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, seperti surat
an-Nahl: 89, Ibrahim:1 dan Shad: 1
Artinya: Dan Kami turunkan
kepadamu Al-kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS.
An-Nahl: 89).
Artinya:
Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya,
agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al- Purqan:1).
3. SISTEMATIKA HUKUM DALAM AL-QUR’AN
Sebagai sumber hukum yang utama,
maka al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara
garis besar al-qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni
hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan
kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan
ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu
hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi
dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan
diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala
aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah
sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an
dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash
al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu:
hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu:
hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu:
hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik
mengenai ibadat atau adat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy
syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain
sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama,
yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang
disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan
menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.
IV. KESIMPULAN
1.
Pengertian
dan Turunnya Al-Qur’an
1. Pengertian al-qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua
aspek, sebagai berikut:
1) Aspek Etimologis, pengertian
al-qur’an ditinjau dari aspek etimologis (bahasa) adalah bacaan.
2) Aspek Terminologi, pengertian
al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kalamullah.
2. Dengan perantara malaikat Jibril.
3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Sebagai mu’jizat.
5. Ditulis dalam mushaf.
6. Dinukil secara mutawatir.
7. Dianggap ibadah orang yang
membacanya.
8. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan
ditutup dengan surah An-Nas
9. Sebagai ilmu laduni global
10. Mencakup segala hakikat kebenaran.
2. Turunnya Al-Qur’an
Turunnya al-Qur’an yang pertama kali
pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat
tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali
secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun
secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta
mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini
dan mencukupkan nikmatnya.
2. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.
A. Penjelasan al-qur’an terhadap hukum,
contoh ayat yang menjelaskan tentang wajibnya berpuasa di bulan ramadhan bagi
orang-orang yang beriman (dalam surat al-baqarah: 183) dan diwajibkannya shalat
bagi orang-orang mukalaf (dalam surat an-nisa: 103).
B. Al-qur’an sebagai sumber hukum,
dijelaskan dalam surat al-maidah:44 dan al-Ahjab: 36.
3. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash
al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
1) Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu:
hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2) Hukum-hukum Akhlak, yaitu:
hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3) Hukum-hukum Amaliyah
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan.
Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul
Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148
As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi
Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
Efendi, Nur Ma’mun, Konsep Fiqh
Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
Hamzah, Muchotob, Studi Al-Qur’an
Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.
Khaliil Al-Qattaan, Manna’, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.
Mustofa, Misbah, Shalat dan
Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67.
Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum
Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.
Shihab, M. Qurais, Wawasan
al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007
Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.
H. Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh
Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
Langganan:
Postingan (Atom)